Rektor Unair Kukuhkan 4 Guru Besar dengan Bidang Ilmu Berbeda

Jumat 09-10-2020,10:50 WIB
Reporter : Aziz Manna Memorandum
Editor : Aziz Manna Memorandum

Surabaya, memorandum.co.id - Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof. Mohammad Nasih kembali mengukuhkan 4 guru besar baru pada Kamis (8/10/2020) di Aula Garuda Mukti Kampus C. Pengukuhan 4 guru besar yang berasal dari empat keilmuan berbeda itu dilaksanakan secara daring. Keempat guru besar tersebut adalah Prof. Sri Puji Astuti Wahyuningsih dan Prof. Suryani Dyah Astuti dari Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Kemudian Prof. Ahmad Yusuf Saiun dari Fakultas Keperawatan (FKp), serta Prof. Diah Ariani Arimbi dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Dengan adanya 4 guru besar yang baru dikukuhkan, Nasih optimistis membuat Universitas Airlangga bergerak lebih maju lagi. Nasih juga berharap, para guru besar bisa menyumbangkan energi secara optimal sehingga mampu memperkuat upaya-upaya yang dilakukan oleh Universitas Airlangga. Ke depan, sambung Nasih, diharapkan Universitas Airlangga terus mengembangkan keunggulannya dalam bidang riset. Dia mengungkapkan, keunggulan suatu riset tidak berhenti hanya pada sebuah kata-kata melainkan ditentukan atas kebermaknaan terhadap apapun yang dilakukan. “Riset yang excellent adalah riset yang bermakna, riset yang memiliki value dan memberikan kebermanfaatan, baik bagi diri pribadi maupun bagi masyarakat,” jelas Nasih. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Yusuf menjelaskan, gangguan jiwa yang paling menonjol adalah gangguan perilaku, gangguan pikiran, gangguan perasaan yang kemudian diikuti oleh gejala-gejala fisik. Ketika gejala-gejala fisik seperti gangguan tidur, gangguan makan dan lain-lain menyebabkan gangguan fungsi pekerjaan maka dapat memunculkan gangguan jiwa pada seseorang. “Rata-rata orang mengalami gangguan jiwa setelah mereka mengalami gangguan fungsi pekerjaan,” ucap Guru Besar kelahiran 1967 tersebut. Ada dua kelompok gangguan jiwa yakni gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa itu sendiri sangat berdampak pada bidang ekonomi. Hal tersebut dikarenakan, orang dengan gangguan jiwa tidak dapat melakukan kegiatan secara produktif. Untuk mengatasi gangguan mental emosional, sambung Prof. Yusuf, tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan meaning of life agar orang tidak mudah cemas, tidak mudah marah, dan lain sebagainya. “Oleh karena itu perlu juga mengembangkan penguatan spiritual, adapun nilai-nilai spiritualitas yang telah kami (Prof. Yusuf dan tim peneliti, Red) teliti adalah syukur, sabar dan ikhlas,” tambahnya. Prof. Yusuf menyatakan jika masalah kesehatan jiwa bukan hanya masalah pasien, tetapi juga masalah keluarga, kelompok, dan masyarakat. Maka dari itu, perlu adanya pengembangan model holistik yang tidak hanya memandang urusan fisik (biologis), tetapi juga urusan psikologis, sosial, spiritual, dan kultural. “Maka dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah gangguan jiwa harus komprehensif, melibatkan semua pihak, lintas sektor dan lintas program,” jelasnya. Sementara Prof. Suryani Dyah Astuti dalam pidatonya menguraikan inovasi pengembangan instrumen medis berbasis fotonik untuk terapi antimikroba dan biomodulasi yang merupakan metode alternatif untuk mengatasi infeksi biofilm pada penyakit kronis. Ia mengatakan bahwa terapi fotodinamik merupakan suatu metode yang digunakan untuk menghilangkan suatu sel yang berbahaya seperti mikroba, kanker dan penyakit infeksi. Inovasi tersebut dengan kombinasi cahaya, fotosensitiser dan oksigen akan menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri. “Yaitu penghambatan aktivitas metabolisme sel karena kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif,” tutur Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi aktif ke-14 tersebut. Menurut Prof. Dyah, fotosensitisasi sebagai salah satu kombinasi merupakan proses penyerapan cahaya oleh molekul fotosensitiser yang selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif. Menurut guru besar kelahiran Klaten tersebut, fotosensitisasi bergantung pada jenis dan konsentrasi dari porfirin yang berperan sebagai molekul penyerap cahaya. “Kepekaan terhadap cahaya ini terutama berkaitan dengan panjang gelombang cahaya yang dipaparkan. Kebanyakan porfirin memiliki serapan pada daerah sinar tampak (400 – 700 nano meter),” ujar guru besar bidang biofisika tersebut. Selain itu, prof. Dyah juga menjelaskan bahwa, adanya fotosensitiser berukuran nano (10-9 m) dapat meningkatkan persentase serapan energi, sehingga lebih efektif menghasilkan ROS (Reactive oxgen Species). Dari hal tersebut, diketahui hasil penelitian menunjukkan bahwa silver nano particle (AgNPs) efektif untuk meningkatkan reduksi biofilm bakteri. Di sisi lain, Prof. Sri Puji Astuti Wahyuningsih mengatakan, radikal bebas terbentuk karena aktivitas metabolik. Adanya radikal bebas dalam bentuk oksigen reaktif memiliki sifat pengikatan terhadap asam deoksiribonukleat (ADN). Hal tersebut juga dapat menyebabkan autooksidasi atau peroksidasi lipid dan dapat mengaktivasi kematian sel terprogram. “Semakin banyak radikal bebas masuk dalam tubuh, maka semakin banyak pula sel imun yang rusak,” jelasnya. Radikal bebas dapat mengganggu fungsi sel sehingga fungsi sel menjadi tidak normal. Hal tersebut menurunkan sistem pertahanan tubuh menurun sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah sakit. Selain itu radikal bebas bisa memicu terbentuknya sel-sel baru abnormal sebagai pemicu tumor maupun kanker. Prof. Tutik menjelaskan bahwa Okra mengandung flavonoid, quercetin, lutein, zeaxanthine, dan vitamin C. Vitamin C pada okra dalam jumlah yang tinggi memiliki aktivitas scavenger yang dapat mengurangi radikal bebas. “Okra juga mengandung polisakarida yang berpotensi untuk memodulasi fungsi imun melalui aktivasi sel imun,” jelasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak metanol polong okra memiliki aktivitas hepatoprotektif dengan indikator biokimia serum. Ekstrak okra juga dapat memulihkan jaringan hati yang rusak menjadi normal. Selanjutnya, Prof. Diah Ariani Arimbi dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dalam orasinya menyerukan perlawanan terhadap stereotip dan konstruksi gender yang merugikan, khususnya pada perempuan. Guru besar aktif ke-2 FIB tersebut menyoroti bagaimana kehadiran perempuan masih sebatas dilihat pada fisiknya saja. Padahal sebagai manusia, perempuan juga memiliki kehadiran mental, sosial, budaya, dan identitas yang harusnya dihormati oleh masyarakat. “Karena itulah perjuangan menuju kesetaraan gender masih begitu panjang,” kata lulusan S2 English Language and Literature, University of Northern Iowa, Amerika Serikat tersebut. Lebih jauh, Prof. Diah juga berharap agar kesetaraan gender baik bagi laki-laki maupun perempuan dapat berjalan melintasi ruang, waktu, wilayah, maupun budaya. “Saya memimpikan berbagai wajah perempuan Indonesia dengan berbagai warna dan rupa. Meski perjuangan kita masih panjang, tapi saya berterima kasih kepada pejuang gender yang menyuarakan kesetaraan dan hak-hak perempuan di antara masyarakat,” tandasnya. (mg1)

Tags :
Kategori :

Terkait