Oleh: Dahlan Iskan
BTP kini sudah menjadi ''orang dalam" BUMN. Posisinya bisa dibilang menentukan, bisa dibilang kejepit.
Tergantung pemegang sahamnya.
Secara resmi pemegang saham BUMN itu adalah Menteri Keuangan. Sedang menteri BUMN adalah kuasa pemegang saham.
Tentu kuasa pemegang saham lebih berkuasa. Selama kuasa itu belum dicabut.
Tapi baik pemegang saham maupun kuasanya sama-sama petugasnya Presiden. Yang dalam hal ini plus Wakil Presiden.
BTP adalah komisaris utama Pertamina, perusahaan BUMN terbesar di republik ini. Yakni perusahaan yang pernah masuk Fortune 500 –dengan ranking sangat bagus 122.
Siapa yang mengangkat BTP sebagai komisaris utama? Sudah tentu kuasa pemegang saham, yakni Menteri BUMN. Tapi kuasa pemegang saham itu juga mengangkat direktur utama perusahaan BUMN –bukan Komut yang mengangkat Dirut.
Sudah ada pembagian tugas yang sangat jelas: komisaris utama (dan para komisaris) harus melakukan apa, direktur utama (dan para direktur) harus melakukan apa.
Berkaitan dengan ini BTP mengeluhkan banyak hal. Seperti di video yang viral itu. Salah satunya sangat saya dukung: kok pemegang saham mengganti direktur tanpa lewat komisaris utama. Kesannya seperti melangkahi dan mengabaikan.
Sebenarnya ini soal sepele: komunikasi. Secara hukum pengangkatan direksi bisa dilakukan kapan saja dan tidak harus melalui komisaris utama. Itu hak sepenuhnya pemegang saham (atau dalam hal ini kuasanya) untuk melakukan itu.
Bahwa komisaris utama dilewati begitu saja, itu soal etika. Soal sopan santun.
Lalu apa yang bisa dilakukan komisaris utama ketika merasa dilangkahi seperti itu?
Pilihan 1: diam saja. Menerima. Biar pun sambil ngomel dalam hati: kurang ajar!
Pilihan 2: Menulis surat kepada menteri BUMN agar lain kali memperhatikan sopan santun.
Pilihan 3: Ngambek, minta berhenti. Terutama kalau direktur baru itu sama sekali tidak kapabel. Atau tidak bersih.
Pilihan 4: memberhentikan sementara direktur yang diangkat itu. Hak Komut untuk memberhentikan ya, meskipun sifatnya sementara. Lalu kuat-kuatan.
Pilihan 5: mengajak semua komisaris untuk berhenti/mengundurkan diri sebagai protes.
Pilihan 6: menggugat pengangkatan itu ke PTUN.
Pilihan 7: ngomel di YouTube.
Dan masih banyak lagi pilihan lain. Misalnya menyewa dukun santet.
Bagaimana kalau seorang komisaris utama melihat praktik manajemen di perusahaan itu tidak beres? Misalnya ada orang yang sudah diberhentikan gajinya tetap tinggi?
Ia bisa menanyakan itu ke direktur utama. Bisa lewat surat, bisa dengan cara memanggil rapat. Tunjukkan bukti kesalahannya. Mintakan penjelasan.
Kalau penjelasan itu tidak bisa diterima dan direksi ngotot merasa tidak ada yang salah, Komut bisa memberikan surat peringatan. Surat itu bisa ditindaskan ke pemegang saham. Dan ke YouTube –diam-diam.
Kalau kesalahan itu dianggap mendasar, Komut bisa memberhentikan sementara direktur utama. Yakni kalau Komut memang yakin kesalahan itu benar-benar terjadi.
Lalu kuat-kuatan.
Bagaimana kalau Komut mendengar ada penawaran ke Pertamina yang dianggap kemahalan? Misalnya Rp 500 miliar untuk aplikasi tanda tangan digital?
Direksi pasti akan minta persetujuan komisaris untuk transaksi sebesar itu. Maka gampang saja: jangan disetujui. Atau minta kepada direksi untuk menawar dengan harga yang lebih murah. Kalau direksinya ngotot ya kuat-kuatan argumentasi. Jangan kuat-kuatan komisi.
Pokoknya pemborosan tidak akan terjadi kalau yang boros-boros itu tidak disetujui komisaris.
Bagaimana kalau direksi tetap melaksanakannya tanpa persetujuan komisaris?
Direksi yang normal tidak akan berani.
Direksi yang tidak normal akan berani. Tapi ini mudah menindaknya: ketika direksi minta persetujuan laporan perusahaan jangan disetujui.
Menjadi Dirut di BUMN itu seperti harimau di kebun binatang. Kelihatannya berwibawa tapi tidak bertaring. Ia diawasi Komut dan seluruh dewan komisaris. Juga diawasi kuasa pemegang saham. Masih diawasi pemegang saham yang sudah memberi kuasa. Lalu diawasi oleh presiden dan wakil presiden.
Masih diawasi oleh DPR. Semua atasan itu minta laporan. Di BUMN itu ada bagian yang pekerjaannya khusus bikin laporan –saking banyaknya laporan yang harus dibuat. Seolah perusahaan itu dianggap sehat kalau sudah bikin laporan.
Tidak ada pimpinan perusahaan yang atasannya begitu banyak seperti dirut BUMN.
Ke atas ia sulit sekali.
Ke bawah juga sulit.
Belum tentu para direktur di bawahnya itu loyal pada dirut. Bisa jadi di antara direktur itu suka nyelonong sendiri ke kementerian BUMN –seperti yang dikeluhkan Ahok. Tanpa sepengetahuan dirut.
Bisa juga di antara direktur itu yang punya backing tokoh politik.
Saya pernah memberi posisi sentral pada semua dirut BUMN. Saya ajak dirut terpilih, untuk rundingan: siapa saja direksi yang layak diangkat. Agar kompak. Agar menjadi satu tim yang unggul.
Saya larang para direktur ke kementerian BUMN –tanpa penugasan dari dirut. Saya larang pejabat kementerian BUMN memanggil direktur tanpa seijin dirut.
Bahkan saya minta agar dirut mau lapor kalau ada komisaris yang menghambat program direksi. Sebab bukan hanya direksi yang kadang punya kepentingan sendiri. Pun para komisaris.
Tapi itulah BUMN. Tidak ada kebijakan yang bisa berjalan untuk jangka yang panjang. Selalu saja ada kebijakan baru setelah itu.
Posisi Dirut pun sama dengan Komut: sama-sama kejepit.
Pokoknya energi seorang direktur utama di BUMN itu lebih banyak habis bukan untuk mencari cara memajukan perusahaan.
Anehnya banyak sekali yang mau dan ingin jadi dirut BUMN. Ini agak mencurigakan: kenapa.
Seperti saya.
Aneh juga banyak yang mau jadi komut BUMN.
Seperti BTP.(*)