Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (24)

Jumat 11-09-2020,11:11 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Pipi yang Terkena Ludah Langsung Melepuh dan Berdarah

Ghadi melihat dirinya berdiri dekat tobong di lapangan pinggir pertemuan dua kali. Dia yakin sedang berada di Pulorejo, Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. Ghadi hapal betul daerah itu. Beberapa orang beraksi di atas panggung, melantungkan lagu Genjer-Genjer. Ghadi menoleh ke kanan dan ke kiri. Penonton menikmati. “Gerakan Lekra makin meluas. Kita harus mengambil sikap,” kata seorang paruh baya di dekat telinga lelaki lain di sebelahnya. “Ya. PKI semakin semena-mena. Lewat gerakan land reform, mereka membatasi hak rakyat. Petani tidak boleh memiliki tanah lebih dari satu hektare. Selebihnya harus diserahkan ke Barisan Tani Indonesia,” kata lelaki itu. “Rakyat pecah. Kita diadu domba. Banyak kiai dibunuh.” “PKI semakin tidak terkendali.” “Saya dengar ada dua orang dari angkatan bersenjata menghimpun ratusan pemuda Islam untuk dilatih perang. Besok mereka akan mengobrak-abrik kantor Center Comite PKI di Jalan Prapanca.” Ghadi sempat melihat lembaran seperti koran di tangan lelaki tadi. Dia cermati waktu penerbitan koran tersebut. Ditemukan. Tapi sayang hanya kelihatan sebagian kecil. Yang lain tertutupi punggung telapak tangan. Ghadi hanya melihat tahunnya. 1967. Ghadi segera surut. Mundur dan pergi. Perutnya lapar. Keesokan harinya dia menunggu di sekitar kantor Center Comite (CC) PKI, Jalan Prapanca. Sejak pagi. Ternyata sepi-sepi saja. Sampai matahari tenggelam, tidak terjadi apa-apa. Ghadi yang menunggu di bawah pohon beringin mulai mengantuk. Seorang penjual angsle mendekat. Ghadi pesan satu porsi. “Sampeyan dari mana?” tanya penjual angsle tadi. “Ndawar Blandong, Pakde,” aku Ghadi sekenanya. “Kenal Kiai Makruf?” “Tetangga, Pakde.” “Saya dengar Kiai Makruf melatih anak-anak Pemuda Ansor dan Pemuda Muslim untuk melawan PKI. Bener ya? Sampeyan ikut?” Ghadi mengangguk walaupun tidak pasti. Mereka terlibat obrolan panjang. Para pembeli angsle silih berganti datang dan pergi. Menjelang tengah malam, terdengar suara gaduh. Berpuluh orang berdatangan dan mengobrak-abrik kantor CC PKI. Tidak ada perlawanan. Ghadi mendekat dan menyaksikan para pemuda tadi menemukan dokumen yang berisi nama-nama tokoh Islam yang dijadikan sasaran pembunuhan. Ghadi melihat sepintas ada nama Abdul Kohar dan Zainal Mahmud. Seluruh isi kantor dikeluarkan dan dibakar. Ada beberapa yang disisakan, mungkin itu dokumen yang dianggap penting. Rombongan bergerak ke kantor CC PKI di Jalan Pemuda. Massa kembali menemukan dokumen daftar target pembunuhan PKI. Karena tidak ada perlawanan, massa bergerak ke kantor Lekra di Lingkungan Panggreman. Tidak seperti di tempat-tempat yang didatangi sebelumnya, kali ini massa dapat perlawanan. Terjadi baku hantam. Ghadi turut bergabung dengan Pemuda Ansor dan Pemuda Muslim. Tak berapa lama berada di tengah bentrokan, Ghadi melihat sebuah celurit mendarat di punggung seorang Pemuda Muslim. Ghadi sempat bergidik. Dia membayangkan punggung pemuda tadi terbelah dan memuncratkan darah segar. Teriakan histeris dan kesakitan akan mengiringi. Ngeri. Namun tidak. Apa yang terjadi? Baju yang dikenakan pemuda tadi memang sobek tidak karuan. Tapi, kulit yang disabet celurit masih utuh. Jangankan robek dan terbelah. Lecet pun tidak. Pemuda tadi malah berbalik dan meludahi penyerangnya. Dahsyat. Pipi yang terkena ludah langsung melepuh merah dan dari pinggir-pinggirnya keluar darah bercampur nanah. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email yulisb42@gmail.com. Terima kasih
Tags :
Kategori :

Terkait