Oleh: Dahlan Iskan
Semua perjalanan punya titik loncat. Ada yang mau meloncat. Ada yang tidak.
Sudomo mau meloncat. Jadilah perusahaan kopinya, Kapal Api, begitu cepat besar. Terbesar di Jatim. Lalu terbesar di Indonesia. Selama 40 tahun terakhir. Belum terkalahkan.
Titik loncat itu terjadi di tahun 1980. Saat umurnya 30 tahun. Begitu banyak pabrik kopi saat itu. Ada merek Glatik, Naga Dunia, Kedung Laju, Supiah, Wanita, Gadis dan seterusnya. Kapal Api tidak lebih besar dari mereka. Bahkan lebih kecil dari Glatik dan Kedung Laju.
Saat itu semua pabrik kopi masih menggunakan mesin goreng kecil-kecil. Yang diputar pakai tangan.
Sudomo ingat kebiasaan di sekolahnya: kalau ingin tahu apa pun bisa membuka ensiklopedia. Yang ia kenal adalah Encyclopedia Americana.
Ada di sekolahnya dulu.
Ensiklopedia berfungsi mirip Google sekarang ini.
Tentu ia ingin tahu teknologi pabrik kopi di negara maju. Ia buka Encyclopedia Americana. Diketahuilah mesin kopi yang paling modern di Eropa. Dengan kapasitas goreng 500 kg/jam. Dengan kualitas goreng yang sempurna. Menggunakan angka-angka indikator yang terukur.
Sudomo ingin sekali punya mesin itu. Ia lapor bapaknya. Kaget. Begitu mahal. “Kita bisa bangkrut nanti,” komentar spontan sang ayah.
Seperti selalu diingat Sudomo. Diucapkan kembali saat Sudomo jadi pembicara utama. Di HUT pertama DI's Way Februari lalu.
Sudomo ambil tanggung jawab. Ia cari pinjaman bank. Ia akan mati-matian melunasi kredit itu.
Waktu itu Kapal Api memang sudah waktunya harus lebih besar. Kalau bertahan dengan pabriknya yang di Jalan Kenjeran Surabaya akan begitu-begitu saja. Seperti juga merek kopi lainnya.
Pabrik di Kenjeran itu luasnya hanya 2.000 meter. Tidak ada lagi tempat untuk mesin baru. Yang kecil-kecil itu. Yang memakan banyak tempat itu.
Mesin baru bikinan Jerman itu pun harus ditempatkan di pabrik baru. Maka ia beli tanah murah di luar Kota Surabaya. Di pinggir jalan arah menuju Krian. Yang sawahnya sering tenggelam di musim hujan.
Sejak menggunakan mesin baru itulah Kapal Api melejit. Lalu beli mesin lagi. Lebih modern lagi. Lebih besar lagi.
Tahun 1981 Kapal Api sudah menjadi pemimpin pasar di Jatim. Tiga tahun kemudian sudah market leader di Indonesia. Sampai sekarang.
Sebuah kisah sukses yang panjang.
Kapal Api awalnya hanya dari usaha rumah tangga. Yang dirintis ayah Sudomo. Di depan rumahnya di Jalan Panggung gang 9 Surabaya.
Sang ayah awalnya tanam sayur. Di sebidang tanah di kampung Kedung Cowek. Surabaya Utara. Basisnya masyarakat Madura. Tanah itu pun disewanya dari orang Madura. Sayur itu dijual ke pasar. Seringnya ke pasar itulah yang membuat sang ayah tahu banyak hal. Termasuk tahu tentang kopi.
Di depan rumahnya itu ada rumah kosong. Milik orang Arab. Yang sudah ditinggal kembali ke Arab. Rumah itu disewakan. Ada orang yang dipercaya mengurus rumah itu.
Di rumah orang Arab itulah sang ayah mulai menggoreng kopi. Lalu ditumbuk. Untuk dijual. Dengan cara dipikul. Keliling kampung Surabaya.
“Waktu itu jualan kopi bungkusnya kertas koran bekas,” ujar Sudomo ingat masa kecilnya. “Orang beli kopi hanya gram-graman. Dibungkus sesobek kertas koran pun sudah cukup,” tambahnya.
Sudomo lahir di gang 9 itu. Di sebuah rumah sebesar 5 x 7 meter. Itulah wilayah kampung Arab. Banyak juga orang Maduranya. “Teman sepermainan saya anak-anak Madura,” katanya.
Lama-lama kopi bikinkan sang ayah kian laku. Rumah sewaan itu tidak cukup lagi. Berkembang ke rumah sebelahnya. Juga milik orang Arab. Juga kosong. Ditinggal pulang ke Arab.
Saat itu Sudomo masih SD. Di sekolah Tionghoa Xin Zhong. Pun di Xin Zhong ia masuk SMP. Lalu SMA.
Ketika di kelas 1 SMA itulah meletus Gestapu/PKI. Sekolah Tionghoa dibubarkan. Termasuk Xin Zhong.
Saat itu ada tiga sekolah Tionghoa yang terkenal di Surabaya. Xin Zhong adalah yang terbesar. Begitu banyak alumninya. Banyak juga yang kemudian sukses sebagai pengusaha.
Setelah terjadi reformasi pada1998 sekolah Tionghoa diizinkan lagi. Para alumni Xin Zhong mengumpulkan dana. Membangun sekolah Xin Zhong yang baru. Di Surabaya Timur. Dekat pantai Kenjeran. Sudomo adalah ketua alumni Xin Zhong itu.
Begitu Xin Zhong dibubarkan Sudomo tidak sekolah lagi. Sudomo memperpanjang daftar ini: pengusaha besar tidak lulus SMA. Sudomo pilih membantu ayahnya jualan kopi. Atau keluyuran dengan kenakalan remajanya.
Saat jualan kopi itulah tiap hari Sudomo keliling Kota Surabaya. Naik sepeda. Sampai pun ke komplek pelacuran gang Dolly. Yang kala itu pun ternyata sudah eksis. “Sepeda itu masih ada. Di museum Kapal Api,” katanya.
Waktu tidak sekolah lagi itulah ayahnya khawatir. Sudomo akan keterusan nakalnya. Maka sang ayah memasukkan anaknya ke perusahaan orang lain. “Saya disuruh kerja di situ. Agar ada yang memarahi saya,” ujar Sudomo.
Ia pun bekerja di pabrik vulkanisir ban. Di daerah Sidotopo Surabaya. Tugasnya mengerok ban yang sudah gundul. Pakai tangan. Dengan alat kerok sederhana. “Agar ban yang sudah gundul bisa ditempeli lapisan baru,” katanya.
Di pabrik ban itu Sudomo sampai 1,5 tahun. Sampai pabriknya bangkrut. Kalah saingan dengan yang di Wonokromo.
Setelah itu Sudomo konsentrasi penuh di pabrik ayahnya. Sebagai tenaga penasaran yang utama.
Kini Kapal Api punya dua pabrik besar. Satu dekat Surabaya. Yang awalnya hanya 1 ha kini menjadi 12 ha. Satunya lagi di dekat Jakarta. Seluas 15 ha. Masih sedang membangun pabrik ketiga: di Semarang. Seluas 20 ha.
Dan ada pula pabrik keempat. Di Xiaoxing. Tidak jauh dari Shanghai. Di sana kopi yang akan dipasarkan nanti mereknya juga kapal api. Dalam bahasa Mandarin: 火船.
Kini mesin besar penggoreng kopinya sudah delapan buah. Dengan kapasitas masing-masing 5 ton/jam. Bekerja 24 jam. Tiga shift sehari. Menandakan begitu besar pasarnya.
Pabrik lamanya yang di Kenjeran dulu masih dipertahankan. Meski tidak untuk produksi lagi. Pun dua rumah kosong milik orang Arab itu. Yang di depan rumah asal sang ayah itu. Yang menjadi ‘pabrik’ pertama Kapal Api itu. Sudah dibeli. Lima tahun lalu. Untuk sejarah kejayaan Kapal Api saat ini. Kapal Api-nya Sudomo ternyata mengangkut sukses. Dari pulau emas ke daratan berlian.(*)