Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Terhitung mulai hari ini, sebelas hari lagi pemilihan umum (pemilu) digelar. Tepatnya 17 April 2019. Pemilu yang berbeda dengan lima tahun lalu. Bedanya, tahun ini pemilu dilakukan serentak mulai memilih presiden, memilih anggota DPR RI, anggota DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten, serta anggota DPD.
Perbedaan ini tentu ada untung ruginya. Walau demikian, bukan itu makna pemilu. Makna terdalamnya ada tuntutan perubahan. Perubahan dari yang lama ke yang baru. Perubahan yang jelek dan tidak bermutu menjadi yang baik dan bermutu. Perubahan yang tidak prorakyat dalam kebijakan, ketetapan, dan keputusan menjadi ke yang pro. Perubahan dari yang hanya pencitraan ke yang sungguh-sungguh. Pun, dari yang lemah gemulai ke yang tegas, disiplin.
Berbagai perbedaan dipastikan menunjukkan rivalitas. Rivalitas antara orang lama ke orang baru. Rivalitas antara anggota DPR yang pada pemilu kali ini masih sama-sama mencalonkan lagi. Rivalitas dengan orang baru yang ingin menjadi anggota DPR baik pusat, provinsi, kota/kabupaten, dan rivalitas menjadi anggota baru dewan perwakilan daerah (DPD). Dan puncaknya, rivalitas untuk menjadi presiden!
Dalam rivalitas presiden, tahun ini nuansa revans sangat kuat. Ini tecermin dari dua calon yang berebut kursi presiden masih sama dengan lima tahun lalu. Joko Widodo versus Prabowo Subianto.
Joko Widodo yang kini tercatat sebagai petahana, setelah lima tahun lalu menang, empat tahun setengah memimpin bangsa ini banyak dipuji berhasil. Banyak disanjung sosok merakyat. Banyak ditulis figur yang sukses membangun infrastruktur. Paling tidak, pujian dan sanjungan itu diberikan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok pendukung dan pecintanya.
Tapi Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi, bagi sebagian warga ada juga tidak baiknya. Kata mereka lebih dari satu. Bahkan banyak. Mulai sering pencitraan, sering memberi penjelasan yang tidak sesuai fakta seperti terlontar saat debat lalu hingga memancing reaksi kubu rivalnya.
Jokowi juga disebut presiden boneka. Dikatakan hanya sebagai petugas partai. Hingga dikesankan diatur para politisi yang berada di balik partai politik pendukungnya di Pilpres 2019. Dan, tentu kejelekan dan kebaikan mantan gubernur DKI Jakarta ini jika ditulis masih banyak lagi.
Prabowo Subianto pun demikian. Mantan Danjen Kopassus ini tidak mudah memosisikan diri sebagai calon presiden tahun ini. Sebagai mantan menantu Presiden Soeharto, presiden ke-2 RI, dia tak lepas dari fitnah dan dijelek-jelekkan.
Dikatakan juga oleh mereka yang tidak mendukung; Prabowo ‘tidak bisa lepas dari bayangan Soeharto’ yang saat itu dikenal sebagai pemimpin yang otoriter.
Paling parah Prabowo Subianto disebut para rival harus bertanggung jawab atas hilangnya beberapa orang mahasiswa pada tragedi 98. Padahal, dalam catatan sejarah Indonesia, Prabowo tidak pernah diputuskan sebagai orang yang bertanggung jawab atas tragedi itu.
Sama dengan Jokowi, kelebihan dan kekurangan, kejelekan dan kebaikan Prabowo yang pernah menyandang pangkat bintang tiga di TNI itu masih sangat panjang jika ditulis.
Jadi, hingga hari pencoblosan nanti, rivalitas kedua sosok ini dipastikan akan terus keras, tegas, dan panas. Sebab, pemilu kali ini yang bernuansa revans dipenuhi intrik dan fitnah. Penuh provokasi dan hasutan. Dari rakyat pendukung maupun dari tim sukses kedua calon yang tidak menyadari tugas dan fungsinya dengan baik.(*)