Oleh: Dahlan Iskan
Pertanyaan pertama saya adalah: di mana bisa beli kartu telepon lokal. Saat saya baru mendarat di bandara Lahore. Jumat pagi lalu.
“Setelah pintu keluar bagasi,” jawab petugas bandara.
Ok. Berarti lebih mudah dari di Beirut dulu. Yang saya harus ke kota dulu. Cari kios penjual SIM card.
Ruang penjual kartu telepon ini sebenarnya besar sekali. Tapi penuh dengan benda berserakan. Termasuk kursi-kursi tidak terawat.
Saya tidak pilih-pilih. Diberi SIM card Ufone. Terbesar dari lima perusahaan telkom yang ada di Pakistan. Saya kemukakan kebutuhan komunikasi saya: lebih banyak data dari bicara. Saya minta paket yang terbesar.
Saya diberi 2 GB. Untuk keperluan satu minggu. Saya ragu. Apakah bisa pulang dalam waktu satu minggu. Saya pun minta tambahan 1 GB lagi. Ternyata tidak bisa top up di situ. Saya diberi SIM lain lagi. Yang berisi 1 GB.
Saya copot kartu Amerika saya. Saya ganti dengan Ufone. Kartu Indonesia tetap ada di dalam. HP saya memang bisa untuk dua kartu.
Hanya saja kartu Indonesia ya saya off-kan. Untuk menghindari roaming internasional. Toh isinya nanti hanya akan lebih banyak hasutan. Dari dua kubu.
Begitu saya on-kan tidak ada tanda sinyal. “Kok tidak bisa berfungsi?“ tanya saya.
“Tunggu satu jam. Maksimum 2 jam,” katanya. Ya sudah.
Tiba-tiba saja ia juga memilihkan saya hotel. Dan sopir. Saya memang tidak mau dijemput teman. Masih terlalu pagi. Saya tahu banyak orang Pakistan bangunnya siang. Seperti di dunia Arab. Atau di Spanyol.
Sopir pun langsung siap di situ. “Saya antarkan ke hotel yang bagus dan murah,” kata sopir itu. Bahasa Inggrisnya cukup bagus. “Tapi kalau pilihan Anda tidak baik saya tidak mau,” kata saya. “No problem,” katanya.
Ternyata saya dibawa ke hotel yang jelek sekali.
Dalam perjalanan ke hotel ini ia merasa heran. Ternyata ada orang Indonesia yang bisa berbahasa Inggris. “Hotel ini baik sekali. Lihat dululah kamarnya,” katanya. Agak ngotot.
Tapi saya juga ngotot. Dari luar saja sudah kelihatan kelasnya. Akhirnya saya unjuk gigi. “Bawa saya ke hotel yang terbaik di Lahore,” kata saya. “Kalau perlu yang bintang sembilan.”
Dia heran. Orang seperti ini minta hotel terbaik. Saya pun mogok bicara. Diam. Ia ngomong apa pun tidak saya jawab.
Mungkin ia ngambek juga. Saya benar-benar dibawa ke hotel yang paling mahal. “Itu nanti mahal sekali. Apakah Anda kuat bayar?” katanya.
Saya tetap diam.
Ternyata saya dibawa ke penjara. Ke sebuah bangunan yang temboknya tinggi. Kusam. Kaku. Di atas tembok itu ada lilitan kawat berduri. Di balik tembok itu tidak terlihat bangunan pencakar langit. Yang bisa saya tafsirkan sebagai hotel termahal. Di atas tembok itu juga ada pos penjagaan. Persis di pojok-pojok penjara. Dengan penjaga bersenjata.
Ia berhenti di situ. “Ini kan penjara,” kata saya. Setelah lama memaku. Saya tidak mau turun dari mobil.
“Ini hotelnya,” jawabnya.
Saya celingukan. Tidak lama kemudian pintu besi itu terbuka. Portalnya berlapis. Banyak seperti tentara bersiaga. Ada delapan orang. Sebagian bersenjata berat.
Ternyata benar. Ini hotelnya.
Saya pun sadar. Ini kan Pakistan. Yang pengamanan untuk fasilitas vital harus ekstra.
Mobil pun diperiksa dengan teliti. Kap mesinnya dibuka. Apalagi bagasinya. Pun surat-surat diperiksa.
Tapi mana lobby-nya? Saya begitu sulit mengenali mana pintu depannya. Sekeliling bangunan seperti pintu belakang semua. Saya pun ditunjukkan pintu masuknya. Kusam. Tertutup.
Di balik pintu itu pemeriksaan berlapis lagi. Lalu saya diminta memasuki lorong berbelok. Terlihatlah dari jauh lobi hotel itu. Ups.
Beda sekali dengan penampakan luarnya.
Bagian dalam hotel ini saya setuju: mewah sekali.
Tapi saya belum sempat booking. Belum punya internet untuk pesan lewat online. Saya lihat jam. Sudah lebih satu jam dari saat meninggalkan airport. Mestinya Ufone saya sudah berfungsi.
Saya cek HP. Ternyata Ufone saya belum ‘on’. Saya duduk di lobi hotel mewah itu. Menunggu Ufone. Saya ingat kata-kata penjual kartu SIM tadi: maksimum dua jam.
Saya harus sedikit bersabar. Toh bisa sambil lihat-lihat seisi lobby. Ada mobil mewah kuno: Cadillac. Tahunnya 1932. Tamu yang lain juga melihat mobil itu.
“Ni hao,” sapa saya. Dijawab juga: ni hao.
Kami bercakap akrab dalam bahasa Mandarin. Mereka anak-anak muda dari Guangzhou. Datang ke Pakistan lewat Qatar. Tidak ada lagi penerbangan langsung dari Guangzhou ke Pakistan. Yang ada lewat Xinjiang. Berarti, memang lebih dekat lewat Qatar. Meski sama-sama muter.
Dua jam sudah. Maksimum sudah. Ufone saya belum juga ‘on’. Saya keluar hotel. Cari sopir tadi. Agar menghubungi temannya yang jual kartu di bandara. Jawabnya: suruh tunggu lagi satu jam. Maksimum dua jam. Saya balik ke lobby. Pinjam wifi hotel. Ternyata mudah. Tanpa password pula. Semua yang berada di lobi bisa akses internet.
Saya pun siap pesan hotel itu. Lewat online.
Kenapa tidak pesan kamar lewat petugas check-in di lobi itu saja? Saya sudah hafal: pasti diminta juga pesan lewat online. Tarif go show sangat mahal. Lebih mahal.
Ternyata hotel itu penuh. Tidak ada lagi kamar.
Tapi wifi hotel itu membuat saya bisa cari hotel lainnya. Dapat kamar. Tapi agak jauh. No problem. Sambil muter lihat-lihat kota Lahore. Siapa tahu Ufone saya ‘on’ di perjalanan.
Dua kali saya mampir toko HP. Tidak bisa mengatasi persoalan Ufone saya. Mulai sebel. Saya pun minta diantar ke toko resmi Ufone. Saya jelaskan kronologinya. Bukan beli di pasar gelap. Ini kartu resmi. Pakai paspor. Pakai sidik jari. Petugas Ufone pun membuka laptop. Pencet sana-sini. Ternyata kartu saya tidak bisa dipakai.
Ya sudah. Sudah waktunya salat Jumat. Tidak cukup waktu lagi untuk berkilah.
Saya juga harus segera ke Islamabad. Ibukota Pakistan. Besok paginya ada perayaan hari kemerdekaan Pakistan.
Saya putuskan untuk tidak beli kartu lagi. Saya akan coba menahan diri: hanya pakai HP kalau ada wifi. Misalnya di hotel.
Sesekali zuhud HP. Kapan lagi kalau tidak di Pakistan ini.(*)