Ataturk’s Way vs Erdogan’s Way

Rabu 15-07-2020,17:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Rakyat Turki, 10 Juli lalu, dapat hadiah besar dari Presidennya: Recep Tayyib Erdogan. Masjid Hagia Sophia. Atau Aya Sofya. Sebelum 10 Juli itu, bangunan yang masuk UNESCO Legacy ini, masih berstatus museum. Maka, azan pertamanya pun disambut dengan riang gembira. Ribuan berkumpul di depan bangunan yang semula gereja, lalu jadi masjid, lalu museum, lalu masjid lagi ini, dengan mengabadikan momen bersejarah ini. Bendera Turki pun berkibar, takbir menggema. Haru berpadu sukacita. Tidak sabar menunggu resminya, sejak 10 Juli hingga kini halaman depan Hagia selalu dipakai sholat jamaah dari subuh sampai isyak. Padahal, sholat jamaah pertamanya baru akan dilakukan pada 24 Juli nanti saat Jumatan. Dunia juga menyambutnya. Ada yang gembira, banyak juga yang kecewa. Amerika, Yunani, Vatikan di antaranya. Khawatir gedung bersejarah itu tak bisa lagi diakses oleh turis seantero dunia. Erdogan menjaminnya bahwa semua masih bebas memasukinya, menikmatinya. Kalau dulu bayar, sekarang gratis. Yunani yang merasa gedung itu dibangun untuk katedral pada masa kekaisaran Bizantium pada 537 M dan diubah menjadi masjid setelah penaklukan Ottoman pada 29 Mei 1453, termasuk yang kecewa. Turki lewat menlunya menjawab dengan menunjukkan sertifikat jual belinya. Bahwa Sultan Mahmud II dulu membelinya, kemudian dijadikan masjid. Namun, sejak 1935, ketika Turki dipimpin pemerintah sekular Mustafa Kemal Ataturk, masjid ini dijadikan museum. Ataturk berpendapat bahwa cara sekularlah yang akan membuat Turki bisa mengejar tetangga Eropanya. Agama harus dijauhkan dari urusan dunia. Agama hanya boleh hidup di ruang privat saja, di rumah. Karena itu, dia mengganti sistem kekalifahan menjadi Republik Turki pada 3 Maret 1924. Sejak itu, simbol-simbol agama dilarang keras seperti pemakaian jilbab di luar rumah, kampus, kantor, pengadilan, gedung pemerintah dan parlemen. Dia mengubah kalender dari hijriyah ke masehi. Mengubah alfabet Arab menjadi latin. Libur Jumat menjadi Minggu, penutupan sekolah agama seperti madrasah, dan pembubaran pengadilan agama. Untuk melanggengkan kekuasaannya dia mendirikan partai CHP (Cumhuriyet Halk Partisi) Dan, yang sangat keblinger dia mengatakan: untuk kemajuan negeri, sholat jamaah tidak diperlukan lagi di masjid. Sejak saat itu, masjid-masjid sepi. Ataturk yang berarti "bapaknya orang Turki" meninggal pada 1938 pada usia 57 tahun karena kanker hati yang diduga karena terlalu banyak mengonsumsi raki, minuman keras khas Turki. Wafatnya selalu diperingati setiap 10 November. Benarkah jalan sekularisme Ataturk membuat Turki maju ekonomi dan peradabannya? Kenyataannya tidak seperti yang diimpikannya. Meski sudah menjadikan negara yang sekular, kemajuan peradaban belum segera didapatkan. Rakyat mulai mempertanyakan, militer yang menjaganya juga sudah mulai goyah. Kaum menengah Islam lantas mengambil momen kekecewaan itu untuk mendirikan partai Islam, namun Kamalis dengan menggunakan tangan Mahkamah Agung menjegal pendirian partai Islam dengan alasan bertentangan dengan konstitusi. Perjuangan berlanjut. Guru politik Erdogan, Necmetin Erbakan, pada 1996, lewat Partai Refah, memenangkan pemilu. Ia lalu bekerjasama dengan Partai Tanah Air, Tancu Ciller, membentuk pemerintahan Turki. Erbakan sebagai PM, tapi setahun kemudian dibatalkan oleh militer. Dua murid Erbakan, Recep Tayyib Erdogan dan Abdullah Gul, lalu membentuk partai baru: AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi, partai keadilan dan pembangunan) pada 4 Agustus 2001 Erdogan yang berkarier moncer lewat walikota Istambul segera mengibarkan lagi model kekalifahan Ottoman (Usmani). Meski pernah dipenjara oleh militer karena dianggap radikal, Erdogan bergeming. Dia tetap menyatakan ini: menara masjid adalah senjataku, kubah adalah helmku, dan masjid adalah barakku. Erdogan semakin berada di hati mayoritas muslim yang hampir seratus tahun berjuang "underground" di bawah pemerintahan Ataturk dan Kamalis, penerusnya. Erdogan meninggikan pajak dan harga alkohol. Dia juga mencabut larangan berjilbab di kantor di sekolah maupun kampus. Bahkan, juga di pengadilan dan parlemen. Kini, seiring dengan kemajuan ekonomi Turki yang oleh World Bank dinaikkan kelasnya menjadi negara berpenghasilan menengah atas, makin banyak saja mobil mewah parkir di masjid setiap kumandang azan tiba. Pengendaranya, sebagian besar para profesional dan pengusaha muda. Pada era Erdogan, menteri pendidikan minta sekolah-sekolah untuk memasukan nilai-nilai Islam dalam praktik. Direktorat Urusan Agama (Diyanet) memiliki fungsi sentral seperti memerintahkan 90 ribu masjid menyiarkan bacaan surat Al Fath yang merupakan doa penaklukan dan kemenangan saat Turki memulai melakukan operasi militer di Suriah. Erdogan yang sudah memimpin Turki --sebagai PM dan Presiden-- selama 17 tahun ini, dikenal sebagai peacemaker terhadap Suku Kurdi (bahasa Kurdi boleh jadi bahasa pilihan di sekolah), penyembuh ekonomi yang sakit, pembangkit semangat beragama, reformis pemerintahan dengan mengubah dari sistem parlementer ke presidensial lewat referendum pada 2017. Pada 2016 dia lolos dari kudeta militer dan tetap survive meski selalu digoncang serangan "The Guardians of Secularism". Pada zamannya,Turki menjadi negeri manufaktur dan pengekspor yang kuat. Turki juga mendapat julukan Macan Baru di antara G20 karena pada 2011 pertumbuhan ekonominya meroket di atas 10 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi makin merosot dan pada 2016 hanya tumbuh 2,9 persen, bahkan pengangguran naik di atas 10 persen. Nilai Lira, mata uang Turki pun melemah 20 persen. Seperti Indonesia pada masa SBY, Turki di masa Erdogan juga bisa melunasi utangnya kepada IMF sebesar 23,5 USD dan untuk pertama kalinya Turki bebas dari utang. Erdogan juga berhasil melipatgandakan bandara dari 25 menjadi 50. Dan, bandara Istambul diklaim sebagai bandara terbesar ketiga di dunia yang bisa menampung 250 juta penumpang setiap tahun. Pada masa Erdogan, juga memiliki kereta api cepat 250 km per jam yang menghubungan Ankara-Eskisehir. Samuel P, Huntington, dalam buku landmarknya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) menyebut Turki sebagai "negeri yang robek" ( A Torn Country) . Negeri yang sudah kuat peradaban tunggalnya, namun oleh pemimpinnya selalu dipaksa untuk diganti dengan peradaban yang lain. "Dan, proses redefinisinya tidak akan pernah mudah," katanya. Baik Kemalis maupun Erdoganis sama-sama mau meredefinisi. Yang satu ingin sekular seperti Eropa Barat, sedang Erdoganis berpendapat bahwa Eropa kini adalah benua yang sakit dan mereka tetap memimpikan model Neo-Ottomanlah yang ideal untuk Turki. Keduanya sudah mencoba dan: "Semuanya tidak mudah," kata Huntington. Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Tags :
Kategori :

Terkait