Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Hidup zaman now adalah kehidupan di atas materi. Itulah prinsip Ningsih (44, samaran). Karena itu, dia tidak menyangka rumah tangganya bakal berantakan karena ulah suami, sebut saja Jono (40), yang di luar akal sehat. Padahal, hidupnya sudah teramat sangat berkecukupan.
“Jujur saja aku termasuk wanita matre. Pikiranku, gak mungkin kita bisa hidup layak tanpa memiliki kekayaan. Makanya, ketika aku ditembak Jono, yang waktu itu masih brondong, sementara aku sendiri sudah janda, aku terima,” aku Ningsih, yang beberapa hari lalu menuangkan curhat via WA kepada Memorandum.
Sudah 20 tahun Ningsih menjalin rumah tangga vs Jono. Waktu itu dia sudah bekerja di sebuah bank swasta ternama. Sementara itu, Jono masih duduk pada semester dua sebuah perguruan tinggi swasta.
“Kami berkenalan tiga tahun sebelumnya, saat aku jaga stan pameran perbankan. Dia menghampiri dan langsung nembak. Aku sempat gelagapan. Sebab, siapa sih yang tidak mengenal Jono? Orang se-Jawa Timur pasti mengenalnya,” akunya.
Jono adalah anak ketiga orang top di Surabaya. Ayahnya tokoh masyarakat yang disegani, sedangkan ibunya pengusaha papan atas. “Meskipun wajahnya biasa-biasa saja, banyak yang menginginkan Jono jadi orang dekatnya. Makanya aku amat bersyukur jadi yang terpilih meski tak pernah berharap,” tandasnya.
Ningsih sebenarnya tahu bahwa di balik punggungnya, Jono bukanlah lelaki setia. Dia sering dikelilingi cewek dan suka bermain hati dan bermain bodi vs mereka. Walau begitu, Ningsih berusaha menutup mata.
Baginya, hidup dengan segala kemewahan yang mengalir dari kantung Jono sudah cukup. Sesuatu yang tidak bisa dimiliki Ningsih semasa masa kanak-kanak dan remaja itu kini berada dalam genggamannya.
Rumah mewah, kendaraan mewah, liburan mewah ke berbagai sudut luar negeri kala itu bukanlah sekadar impian kosong. Sesuatu yang waktu remaja hanya berhenti pada olok-olok dan guyonan belaka.
Cukup lama kenikmatan itu direguk Ningsih. Hingga 2015. Setelah itu, pundi-pundi uangnya mulai banyak berkurang. Sejak pengendali usaha keluarga, yaitu mertua perempuan, meninggal setahun sebelumnya. Usaha keluarga mereka hancur berantakan.
Masalahnya, selama ini tidak ada satu pun dari ketiga bersaudara Jono yang dilibatkan ikut mengurusi perusahaan. Mereka hanya numpang nama, namun tidak benar-benar terjun ke lapangan. Pasokan untuk Jono pun ikut seret. Setelah itu, terjadilah perebutan aset-aset perusahaan. Beruntung ada pengacara perusahaan yang dapat segera menyelamatkan aset-aset itu.
Toni (47, samaran), kakak sulung Jono, lantas ditunjuk memegang perusahaan. Kedua adiknya, termasuk Jono, hanya menerima jatah bulanan dari Toni. Dan, sebulan-dua bulan sepertinya berjalan lancar. Toni masih bisa menjatah adik-adiknya. Tapi memasuki akhir 2017, keguncangan besar terjadi. Toni tak mampu lagi secara rutin membagikan jatah.
“Suami saya yang biasa hidup berkecukupan tidak mau tahu. Dia memaksa Toni memberikan jatah seperti semula. Mereka sampai beberapa kali berkelahi secara fisik,” kata Ningsih, yang menambahkan bahwa Jono pernah menodongkan pistol ke Toni. Ia memaksa minta jatah.
Apabila tidak bisa memberikan jatah seperti dulu, Toni diancam Jono bakal dirusak keluarganya. Tidak hanya Toni, melainkan juga anak dan istrinya. “Akan kuhancurkan keluargamu!” ancam Jono sambil melemparkan sebilah gunting, pada suatu waktu. (bersambung)