PULAU Sumatra sedang tidak bercanda. Air bah turun bukan sekadar air. Ia membawa pesan. Pesan yang beratnya mungkin lebih besar dari gelondongan kayu yang ikut hanyut.
BACA JUGA:Drama Tumbler Berbuah Surga
Tiga provinsi—Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh—seakan sedang “dipanggil” oleh Tuhan melalui tanda tangan alam-Nya. Banjir bandang dan longsor itu seperti mengetuk pintu para pemimpinnya:
“Ada yang mau kau lihat di sini?”
BACA JUGA:Barcode untuk Polisi Nakal
Sebagian pemimpin menjawab panggilan itu. Ada yang basah-basahan menembus kampung terisolasi. Ada yang berdiri di posko siang malam, memantau, menenangkan, memastikan.
Sebagian lainnya… sibuk mengangkat koper.
BACA JUGA:Operasi Zebra 2025 seperti Password WiFi
Di Aceh Selatan, bupatinya, Mirwan, ternyata lebih memilih menjawab panggilan lain. Ia memenuhi undangan perjalanan ke Tanah Suci. Meski izin perjalanannya ditolak Gubernur Aceh Muzakir Manaf, ia tetap berangkat. Bersama keluarga. Dengan tenang.
Sementara banjir tidak pernah mengajukan izin kepada gubernur.
Ia langsung datang.
BACA JUGA:Datang Diam-diam, Pulang Membawa Nama Besar
Yang paling ironis, bukan banjirnya. Bukan kayu gelondongan yang ramai diperiksa pemerintah pusat. Yang paling ironis adalah: banjir mencari bupati.
Dan tidak menemukannya.
BACA JUGA:Indonesia Emas Tak Akan Lahir dari Generasi Narkoba