Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Sudah. Ini yang terakhir. Mala harus tahu. Apalagi, dalam beberapa kali diskusi akhir-akhir ini Mala sudah berancang-ancang ingin mengajukan gugatan cerai terhadap Wahyu. Dia menyatakan tidak ingin terlalu lama tersesat dalam lubang kemaksiatan.
Begitu acara di vila selesai, Eli berpamitan dulu kepada teman-teman untuk segera pulang. Dia naik Grap. Biarlah yang lain, yang masih ingin mengisi week and-nya, menuruskan agenda acara yang sudah ditetapkan.
Eli tak menyangka di keluarganya ada dua orang terlaknat. Makanya selama ini Supriadi sering dolan ke rumah. Katanya sekadar main-main, melihat tubuh-tubuh muda peserta senam. Eli memaklumi. Mata laki-laki. Tapi, apa yang sesungguhnya terjadi? Entah sudah berapa lama mereka mempraktikkan itu.
Sabtu malam Eli sudah sampai rumah. Dia langsung membuka pintu, karena setiap anggota keluarga memang dipegangi masing-masing satu kunci duplikat pintu utama.
Suasana terasa lengang. Sepi. Tidak ada bunyi selirih apa pun. Mala pasti sedang berhura-hura dengan teman-teman arisannya entah di mana. Biasanya Mala pulang dini hari. Ningsih pasti ribet dengan pekerjaan rewang-nya di acara resepsi. Dan, tidak disangka Wahyu sedang mengkhianati cintanya kepada Mala dengan berselingkuh vs sana paman, Supriadi. Padahal, selaki tersebut sudah paruh baya. Tenaganya pasti tidak fit lagi.
Dari selonjoran di sofa, Eli bermaksud bangun dan istirahat di kamar. Dia pun mengangkat tubuhnya yang semi-semiberat. Malas-malasan. Akhirnya usaha Eli berhasil. Dia dapat mendekati kamar.
Namun, sesuatu di luar dugaan terjadi. Eli mendengar keributan kecil dari kamar tidur utama. Pelan-pelan Eli mengintipnya. Astaghfirullah… sesuatu di luar akal sehat sedang berlangsung.
Mala memagut mesra dagu Ningsih. Begitu berbalas secara berulang-ulang dan bertubi-tubi. Pelan-pelan Eli mundur. Secepatnya lari keluar rumah dan menuju masjid terdekat.
“Untung mereka belum tahu keberadaanku,” kata Eli.
Dia minta izin tidur di masjid, tapi tidak diperbolehkan takmir. Eli ditampung di rumah salah satu takmir. Keesokan harinya, dia pulang seperti biasa. Seperti tidak terjadi apa-apa.
“Eli, besok kita masukkan gugatan cerainya. Sudah beres semua,” kata Mala sambil menyuap sesendok sarapan. Wahyu tidak merespons. Hanya tersenyum. Eli pun hanya mengangguk. “Biarkan semua keruwetan ini berakhir,” tuturnya seperti pada diri sendiri. (habis)