Tubuh yang Tidak Bergerak

Jumat 14-11-2025,08:00 WIB
Reporter : Fatkhul Aziz
Editor : Fatkhul Aziz

Dari setiap seratus orang, kita bisa bertaruh: hampir semua menjalani hidup dengan tubuh yang kurang bergerak. Ini bukan lagi kecurigaan, melainkan semacam kepastian yang diam-diam kita terima, seperti kita menerima langit kelabu di musim kemarau.

Angka-angka itu sendiri bisu. Tapi coba lihat: di dalam bus, di ruang kerja, di depan layar yang memancarkan cahaya biru—tubuh-tubuh itu membeku dalam posisi yang hampir serupa. Seolah-olah gerak telah dicuri dari kita, pelan-pelan, tanpa kita sadari. Kita telah menukarnya dengan kenyamanan semu: kursi empuk, remote control, pesan antar yang menghadirkan segala sesuatu hanya dengan satu ketuk.

BACA JUGA:Negeri dalam Bayangan Banjir


Mini Kidi--

Tubuh, dulu adalah alat kita merasai dunia. Kaki yang menginjak tanah, tangan yang meraba permukaan kasar batang pohon, punggung yang menegang saat mengangkat beban. Sekarang ia hanya menjadi tumpangan bagi jiwa yang terkurung dalam rutinitas. Kita memberinya makan, memandikannya, lalu menyimpannya dalam posisi duduk untuk berjam-jam. Seperti pedang yang tak pernah dihunus, lama-lama berkarat dalam sarangnya.

Mungkin inilah bentuk kepunahan yang paling halus: bukan tubuh yang mati, tetapi tubuh yang tak lagi hidup sepenuhnya. Kita menjadi arsip dari gerak-gerik yang terlupakan. Dalam diam kita, ada sebuah museum yang menyimpan kenangan tentang lari-lari kecil di tengah hujan, tentang perjalanan jauh dengan kaki yang pegal, tentang tarian spontan di bawah langit malam.

BACA JUGA:Generasi Muda dan Dompet yang Jebol

Tapi hidup selalu menemukan jalannya. Di sudut-sudut kota, sekelompok kecil orang masih berjaga—mereka yang berlari di pagi buta, yang bersepeda menembus kabut, yang memilih tangga daripada lift. Mereka seperti sisa-sisa ingatan akan sebuah zaman ketika manusia masih bersahabat dengan gerak.

Dari setiap seratus orang, mungkin hanya segelintir yang masih ingat bahwa tubuh bukanlah beban, tetapi sahabat lama yang menanti untuk diajak menari lagi. Dan kita? Kita ada di mana? Dalam statistik yang sunyi itu, atau dalam kelompok kecil yang masih mempercayai bahwa setiap langkah adalah semacam doa bagi tubuh yang hampir terlupakan?

Kategori :