Tinta Memorandum Masih Mengalir

Selasa 11-11-2025,22:40 WIB
Editor : Ferry Ardi Setiawan

Oleh: Totok Hariyono SH, Anggota Bawaslu RI dan Ex Officio DKPP RI

Selama Surat Kabar Harian Memorandum masih lantang meneriakkan kebenaran, berpihak pada rakyat kecil, kaum lemah yang tertindas, selama itu pula jangan pernah menyerah pada rasa takut menulis, bertindak dan berteriak. Berjuang menegakkan keyakinan akan kebenaran dan saya selalu percaya, perjuangan menegakkan kebenaran memang  bisa dikalahkan, tapi tidak pernah bisa dimatikan. Dan, prinsip itu terus tumbuh tersemaikan di awak Memorandum.

Meski kini saya bukan lagi bagian dari Memorandum, jiwa pemberontak, julukan yang pernah disematkan Bos Agil... akan seakan terus meronta di dada. Dalam  aliran darah ini, serasa masih mengalir tinta Memorandum.

Saya bergabung dengan Memorandum pada 1987. Saat itu saya masih  muda, mahasiswa dengan nuansa idealis yang tentu masih kental di kalangan aktivis saat itu, dan mungkin cenderung dikenal keras kepala. Tapi justru di redaksi Memorandum, nuasa itu tertempa makin keras oleh gemblengan almarhum H Agil H Ali — yang kami semua panggil Bos Agil — membuat kami makin mengenal arti sebenarnya dari keberanian... kejujuran... keadilan dan keberpihakan pada kaum lemah. 

“Wartawan itu harus bisa menulis dengan jujur, baik dan benar,” pesan Bos Agil suatu ketika. “Jujur, berwawasan luas, tidak terpengaruh siapa pun, apapun  dan yang terpenting, tidak takut. Karena kalau kamu yakin benar, Allah yang akan melindungi. Karena setiap tetes tinta yg ditulis jurnalis akan dicatat sebagai tetesan darah syuhada”.

Kalimat itu menancap dalam benak saya. Tapi menjalankannya tidak selalu gampang. Saya masih ingat betul satu peristiwa di 1998. Bersama kawan-kawan aktivis membentuk Gerakan Mahasiswa Pecinta Keadilan Sosial (GEMAPAKASI) melakukan  aksi demonstrasi di Jakarta, di Kementerian Kehutanan. Tak lama, kantor Memorandum didatangi banyak intel. Mereka mencari saya. Dan Bos Agil, tentu saja, marah besar.

“Tok, kamu gila! Apa yang kamu lakukan di Jakarta? Koran kita bisa dibredel! Mikir, Tok! Ada delapan puluh karyawan yang hidup dari sini., ditambah keluarganya,”.

Waktu itu, saya hanya diam. Sejak hari itu saya dipindahkan ke Malang dan diwajibkan hanya menulis berita olahraga. Tidak boleh menulis berita politik. Tapi jiwa ini tetap berontak. Dunia aktivis yang dididik buat mencintai keadilan untuk menegakkan demokrasi sudah terlanjur jadi nadi. Maka begitu kesempatan datang, saya kembali menulis politik.

Dari Memorandum, saya belajar tentang keberanian, kejujuran, dan konsistensi. Bahwa suara rakyat kecil yang terhimpit dan tertindas harus terus diangkat dan disuarakan, meski kadang membuat penguasa tak nyaman.

Ketika kemudian beralih terjun ke dunia kepemiluan, semangat itu seakan masih terbawa. Pada 2004, saya mulai menjadi panwaslu untuk Pilkada Kabupaten Malang, berurutan sebagai panwas Pilbub Malang 2005, Panwas Pilgub Jatim 2008.  Lalu dua periode  bertugas di KPU Kabupaten Malang, sebelum akhirnya bergabung dengan Bawaslu Jawa Timur pada 2017.

Tahun 2022, kembali  mengikuti fit and proper test dan terpilih sebagai salah satu anggota Bawaslu RI  Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa. Perjalanan panjang ini memang tidak selalu mudah , tapi saya yakin, tidak akan pernah sampai di titik ini tanpa tempaan dari ruang redaksi Memorandum.

Karena, sebelum semua itu, saya hanyalah kuli tinta yang menghabiskan malam di depan mesin ketik dan secangkir kopi dingin plus rokok. Wartawan yang hidup dari setitik idealisme, bukan dari gumpalan popularitas.

Saya memang tidak sempat menuntaskan kuliah di IKIP PGRI Malang. Tapi di kampus itulah saya mulai mengenal dunia pergerakan, belajar berorganisasi, dan membangun jejaring antar kelompok pro-demokrasi di Gerakan Mahasiwa Nasionalis Indonesia (GMNI) Kemudian saya menuntaskan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sunan Giri Malang dan meraih gelar sarjana hukum pada 2006.

Kini, setiap kali melihat Memorandum yang masih terbit dengan tegak dan kini memasuki usia ke-56 tahun, saya merasa haru. Dunia sudah berubah, media banyak tumbang, tapi Memorandum tetap ada. Tetap tangguh. Tetap tepercaya. Sungguh luar biasa. Saya ingat kata Bos Agil dulu bahwa Memorandum itu koran sakti, karena susah mati. Ini terbukti dengan langkah tegak hingga memasuki tahun ke-56.

Selamat ulang tahun untuk SKH Memorandum. Semoga terus menjadi obor penerang di tengah gelapnya disinformasi, menjadi ruang bagi suara yang tak terdengar, dan menjadi saksi zaman yang jujur pada nurani.

Kategori :