Ada semacam ironi yang merayap pelan di antara kita: semakin tinggi melek huruf, semakin buta kita membaca jerat. Data Otoritas Jasa Keuangan tahun 2025 menyebut kelompok usia 26-35 tahun dan 18-25 tahun punya indeks literasi keuangan tertinggi, masing-masing 74,04% dan 73,22%. Tapi angka-angka itu seperti puisi yang dibaca tanpa makna. Mereka paham teori, tapi tak kuasa menolak godaan untuk ikut.
Dalam hidup yang semakin cair, pertemanan bukan lagi sekadar ruang bercengkerama. Ia menjadi pasar tak kasatmata. OCBC Financial Fitness Index 2025 mencatat 76% anak muda masih menghabiskan uang demi mengikuti gaya hidup teman. Angka itu turun dari 80% di tahun sebelumnya, tapi kita tak perlu bertepuk tangan. Sebab, seperti kabut di pagi hari, FOMO (fear of missing out) masih menggumpal di mana-mana. Mereka takut ketinggalan—bukan ketinggalan ide atau peluang, melainkan ketinggalan tren.
BACA JUGA:Tepuk-Tepuk di Zaman Ruwet
Mini Kidi--
Maka, kekompakan pun menjelma menjadi semacam tekanan halus. Kita kompak menghabiskan uang untuk kopi kekinian, sepatu limited edition, atau tiket konser yang harganya setara dengan gaji sebulan. Kekompakan semacam ini mahal harganya. Skor Financial Fitness Index Indonesia untuk pertama kalinya turun menjadi 40,60 dari 41,16. Dan kelompok usia 25-29 tahun (lajang) ada di posisi terendah: 37,94. Angka-angka itu seperti monumen dari kegagalan kita mengendalikan diri.
Yang menarik justru paradoksnya: literasi tinggi tak menjamin kebijakan. Kita tahu cara mengelola uang, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Kita paham bahaya utang, tapi "buy now pay later" dan kredit gaya hidup tetap menggoda. Kemampuan mengelola utang tanpa jaminan turun dari 97,28 menjadi 93,97. Seolah-olah, pengetahuan finansial hanya menjadi hiasan di rak pikiran, sementara nafsu konsumsi tetap bercokol di ruang hati.
BACA JUGA:Bencana Industrial
Mungkin ini bukan sekadar persoalan uang. Ini tentang identitas yang rapuh. Di tengah lautan informasi dan pilihan, generasi muda mencari pegangan—dan mereka menemukannya dalam simbol-simbol konsumsi. Tembok-tembok media sosial menjadi galeri prestise, di mana setiap like adalah pengakuan. Tapi seperti kata seorang penyair, "kita berjalan di lorong-lorong mall, mencari diri yang tersembunyi di balik label-label merek."
Di era digital yang serba instan, mengatur keuangan adalah semacam disiplin baru. Ia seperti puisi esai: butuh struktur, tapi juga keluwesan. Mulai dari menyusun anggaran bulanan, belajar manajemen keuangan, hingga mencari tips hemat agar tetap bisa nongkrong tanpa membuat dompet menjerit. Tapi, apakah kita siap untuk bentuk perjuangan yang sunyi ini?
BACA JUGA:Dari Jimbocho ke Kampung Ilmu, Sebuah Nirwana yang Menunggu
Mungkin yang kita butuhkan bukan lagi sekadar literasi, melainkan semacam keberanian untuk berbeda. Sebab, di balik reruntuhan dompet, yang tersisa adalah pertanyaan tentang apa yang benar-benar kita hargai.