Ada sesuatu yang ganjil dalam irama zaman kita. Di tengah gemuruh bencana industri dan kabar-kabar suram tentang tanah yang terkontaminasi, tiba-tiba kita disuguhi sebuah simfoni tepuk tangan. Bukan tepuk untuk pertunjukan, melainkan koreografi instan yang diharap bisa menjadi penanda memori kolektif.
Dimulai dari Tepuk Sakinah, yang lahir dari ruang-ruang sakral Kantor Urusan Agama. Sebuah upaya merangkai nasihat perkawinan dalam bunyi dan gerak, agar mudah melekat pada memori calon pengantin. Lalu, bagai riak di permukaan air, gelombangnya menyebar. BMKG mengetuk-ngetuk meja dengan Tepuk Gempa, sebuah kode tentang berlindung dan menyelamatkan diri. Direktorat Jenderal Pajak, yang biasanya hadir dengan angka-angka rumit, tiba-tiba berirama dalam Tepuk Pajak. Tak ketinggalan, Polres Majalengka dengan Tepuk Keselamatan Lalu Lintas, mengubah rambu- lalu lintas menjadi semacam nyanyian tubuh.
BACA JUGA:Bencana Industrial
Mini Kidi--
Inilah gejala kita: saat pesan-pesan penting tak lagi cukup disampaikan melalui teriak dan selebaran, ia dibungkus dengan tepuk-tepuk yang riang. Sebuah strategi untuk merebut perhatian di tengah banjir informasi. Di panggung media sosial, di mana setiap detik adalah pertarungan untuk viral, pesan edukasi harus bersolek, menari, dan bertepuk tangan agar didengar.
Tapi, di balik riuhnya tepuk-tepuk ini, tersembunyi sebuah kegelisahan. Sebuah pertanyaan yang mungkin tercecer di antara hentakan palms: apakah pengetahuan yang disampaikan dengan irama riang ini akan berlabuh di kedalaman kesadaran, ataukah ia hanya hinggap sebentar di ujung jari, lalu lenyap begitu tepuk tangan usai?
BACA JUGA:Dari Jimbocho ke Kampung Ilmu, Sebuah Nirwana yang Menunggu
Drajat Tri Kartono, sang sosiolog, menyebutnya hanya menyentuh permukaan. Eka Riyanti Purboningsih, peneliti media, mengingatkan kita pada taksonomi Bloom: bahwa mengenal dan mengingat hanyalah anak tangga paling dasar. Untuk sampai pada pemahaman, penerapan, dan akhirnya perubahan perilaku, dibutuhkan lebih dari sekadar sebuah rima dan tepuk.
Kita seperti sedang bermain dalam ilusi. Ilusi bahwa dengan membuat sesuatu menjadi catchy, ia akan serta merta mengubah cara pikir dan tindak tanduk. Bahwa dengan menyederhanakan yang kompleks menjadi lirik dan gerak, kita telah menyelesaikan masalah. Padahal, kesadaran membayar pajak tidak lahir dari menghafal syair, tetapi dari keyakinan akan keadilan sistem. Ketaatan berlalu lintas tidak tumbuh dari gerak tangan, tetapi dari penghargaan akan nyawa. Dan kesiapsiagaan gempa bukan sekadar hafalan "lindungi kepala," tetapi sebuah kebiasaan yang dibangun dalam ketenangan, bukan dalam keriangan.
BACA JUGA:Bisnis Gue Temenin Jalan, Luka di Balik Gemerlap Kota
Fenomena tepak-tepuk ini adalah cermin zaman. Zaman di mana perhatian adalah mata uang yang paling berharga, sehingga segala pesan—betapa pun vitalnya—harus bersaing dengan konten-konten lucu dan sensasional. Ia adalah gejala dari sebuah keputusasaan yang positif: bagaimana membuat pesan yang membosankan menjadi menarik.
Tapi, jangan-jangan, kita sedang menari di atas panggung yang salah. Sementara tangan kita bertepuk riang untuk mengingat langkah saat gempa, kita mungkin lupa bertanya mengapa bangunan-bangunan itu begitu rentan. Sementara kita menghafal syair tentang pajak, kita mungkin abai mempertanyakan ke mana uang itu mengalir. Tepuk-tepuk ini, dalam segala kelucuannya, berisiko menjadi pengalih yang elegan—cara untuk terlihat melakukan edukasi tanpa benar-benar menyentuh akar persoalan.
BACA JUGA:Vaksin Kanker Rusia dan Impian Abadi
Pada akhirnya, ini bukan tentang benar atau salahnya metode tepuk-tepuk itu. Ia ada. Ia terjadi. Ia adalah respons kreatif di tengah kebuntuan komunikasi. Tapi, biarkan ia menjadi pintu masuk, bukan tujuan akhir. Biarkan tepuk tangan itu membuka percakapan, bukan menutupnya. Sebab, setelah tepuk tangan usai, yang tersisa adalah keheningan—dan di situlah seharusnya kerja keras pemahaman yang sesungguhnya dimulai.