Kita selalu datang terlambat pada bencana. Sebelum hujan abu atau genangan lumpur, sebelum tanah retak dan udara diam-diam membawa luka, kita sudah berdiri di tepi jurang kelalaian yang lama. Tapi kita tak pernah benar-benar melihatnya.
Hari ini, di Cikande, ada sesuatu yang tak kasat mata merayap pelan. Namanya Cesium-137. Sebuah nama yang terdengar seperti nama bangsawan asing, elegan dan jauh. Tapi ia adalah tamu yang tak diundang. Ia tak berbau, tak berwarna, tapi bersembunyi dalam debu, dalam nafas, dalam tetes hujan yang jatuh di atap-atap warga. Ia adalah hantu modern, produk dari sebuah zaman yang menjanjikan kemajuan, tapi kerap meninggalkan jejak racun.
BACA JUGA:Dari Jimbocho ke Kampung Ilmu, Sebuah Nirwana yang Menunggu
Mini Kidi--
Kita mengenal pola ini. Sebelum Cikande, ada Lapindo. Sebuah nama yang sudah menjadi semacam monumen kesakitan yang tak kunjung sembuh. Lumpur itu bukan lagi sekadar material, ia telah berubah menjadi metafora—tentang kuasa yang tak bertanggung jawab, tentang ingatan yang dipaksa tumpul, tentang kehidupan yang dikubur perlahan-lahan. Lapindo adalah pelajaran yang kita abaikan. Sebuah puisi panjang tentang kegagalan.
Dan sejarah industri kita, jika kita mau menelusurinya, adalah mozaik dari bencana-bencana yang berulang. Kebocoran gas di Cilegon, tumpahan minyak di Balikpapan, warga yang keracunan limbah di dekat pabrik-pabrik raksasa di Jawa. Setiap kali, ada narasi yang sama: investigasi, janji ganti rugi, dan kemudian… senyap. Seolah-olah bencana itu adalah bagian tak terelakkan dari mesin pembangunan. Seolah tubuh warga, sungai-sungai, dan udara yang mereka hirup adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah angka pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA:Bisnis Gue Temenin Jalan, Luka di Balik Gemerlap Kota
Cikande dengan Cesium-137-nya adalah babak baru dari drama lama ini. Ia mengingatkan kita bahwa bahaya terbesar zaman ini mungkin justru yang tak bisa kita lihat. Kita bisa menyaksikan banjir lumpur, kita bisa mencium bau limbah. Tapi bagaimana kita melawan sesuatu yang tak terasa, yang efeknya baru akan berbicara dalam hitungan tahun, dalam sel-sel tubuh yang bermutasi tanpa suara?
Kita hidup dalam ironi yang pahit. Negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini, justru menjadi tempat di mana risiko-risiko industrial yang paling purba—kerakusan, pengabaian, dan ketiadaan penegakan hukum—berkawan dengan teknologi yang paling mutakhir. Nuklir, dengan segala janji energinya, datang ke dalam ekosistem yang rapuh ini. Dan seperti biasa, yang paling rentan akan menjadi yang pertama merasakan dampaknya.
BACA JUGA:Vaksin Kanker Rusia dan Impian Abadi
Mungkin kita perlu berhenti sejenak. Bukan hanya untuk menuntut pertanggungjawaban untuk Cikande, atau untuk Lapindo yang belum selesai. Tapi untuk mempertanyakan logika yang mendasari semuanya. Sebuah logika yang melihat alam hanya sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi, dan manusia sebagai angka dalam laporan laba-rugi.
Pada akhirnya, Cikande adalah lagi-lagi sebuah pertanyaan tentang ingatan. Apakah kita akan mengingatnya, ataukah ia akan tenggelam dalam hiruk-pikuk berita berikutnya, seperti Lapindo, seperti Cilegon, seperti semua nama-nama yang sudah hilang dari kepala kita? Sebab, bencana terbesar bukan hanya pada saat sesuatu bocor atau tumpah. Bencana terbesar adalah ketika kita membiarkan lupa menjadi kebijakan.