SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Rencana pemerintah untuk menaikkan target penerimaan pajak secara signifikan pada tahun 2026 menuai tanggapan dari kalangan akademisi. Pemerintah diingatkan untuk waspada terhadap risiko yang mungkin timbul jika target ambisius tersebut tidak tercapai, terutama terkait membengkaknya utang negara dan pemotongan anggaran di sektor krusial.
Kementerian Keuangan telah memproyeksikan target penerimaan pajak pada 2026 mencapai Rp 2.357,7 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 13,5 persen dari target tahun 2025 yang berada di angka Rp 2.076,9 triliun.
Mini Kidi--
Menanggapi rencana tersebut, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair), Prof Rossanto Dwi Handoyo, mengingatkan pemerintah akan konsekuensi dari target yang tidak realistis.
“Kalau target penerimaannya itu tidak terpenuhi, sementara pengeluarannya sesuai target. Nah, pertanyaannya, kekurangannya dari mana?” ujar Rossanto, Rabu 3 September 2025.
BACA JUGA:Ais Shafiyah Asfar Raih Gelar Doktor Termuda di Unair dengan IPK Sempurna
Ia memaparkan bahwa jika realisasi penerimaan negara meleset dari target, pemerintah hanya memiliki dua pilihan yang sulit, yakni menambah utang baru atau memangkas belanja negara.
Keduanya memiliki dampak negatif, terutama jika pemangkasan dilakukan pada akhir tahun anggaran.
“Kalau penerimaan pemerintah menurun, berarti otomatis utang yang harus ditarik pemerintah bertambah atau pengeluaran pemerintah harus dikurangi di akhir periode. Padahal, akhir periode itu biasanya masa di mana proyek-proyek pemerintah harus diselesaikan,” jelasnya.
Menurut Rossanto, kunci untuk menjaga stabilitas fiskal di tengah target yang tinggi adalah penerapan government spending atau belanja pemerintah yang tepat guna dan tepat sasaran. Ia menekankan pentingnya program-program pro rakyat, seperti subsidi energi dan program keluarga sejahtera, untuk terus dievaluasi dan dijalankan.
Langkah ini sangat penting karena sekitar 60 persen kekuatan ekonomi suatu negara ditopang oleh aktivitas konsumsi masyarakat. Namun, ia melihat ada kebijakan yang justru kontraproduktif.
“Kondisi yang terjadi belakangan ini, pemerintah justru mengurangi dana transfer daerah. Salah satu dampaknya adalah peningkatan pajak di berbagai daerah, misalnya PBB di Pati dan Bone. Otomatis daya beli masyarakat tambah berat lagi kalau PBB naik,” imbuhnya.
BACA JUGA:Wanala Unair Sukses Kibarkan Bendera Merah Putih di Puncak Gunung Arjuno
Lebih lanjut, Rossanto menyoroti perlunya pemerintah memetakan kembali pos-pos belanja yang dianggap kurang produktif, termasuk efisiensi pada belanja pegawai.
Ia secara khusus juga memberikan catatan kritis terhadap alokasi anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilainya terlalu besar.
“Pemerintah perlu memprioritaskan kembali, termasuk MBG,” katanya.
Ia berpendapat bahwa anggaran gemuk untuk program tersebut akan jauh lebih bermanfaat jika dialihkan untuk memperkuat sektor kesehatan, misalnya mendukung masyarakat pengguna BPJS.
Menurutnya, kesehatan yang terjamin akan secara langsung mendorong produktivitas masyarakat dalam jangka panjang.
BACA JUGA:Pakar Unair Serukan Perjuangan Kesejahteraan Anak Melalui Pendidikan Berkualitas dan Keteladanan
Prof Rossanto mengkategorikan kebijakan seperti MBG sebagai kebijakan mercusuar yang lebih berorientasi pada pemenuhan janji kampanye daripada menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Pihaknya mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi mendalam dan memprioritaskan sektor-sektor yang benar-benar strategis bagi kesejahteraan rakyat.