Isu tes DNA yang menyeret nama Ridwan Kamil dan Lisa Mariana menjadi perbincangan luas masyarakat.
Awalnya, tuduhan hubungan gelap tersebar lewat media sosial, disertai klaim adanya anak dari hasil relasi tersebut. Laporan pencemaran nama baik pun diajukan.
Proses berlanjut hingga tes DNA dilakukan di Bareskrim Polri, disaksikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hasilnya? DNA tidak cocok. Klaim yang selama ini bergulir tidak terbukti, baik secara ilmiah maupun hukum.
Secara hukum, Indonesia memberi ruang bagi anak luar kawin untuk diakui keberadaannya selama bisa dibuktikan secara sah.
Berdasarkan KUH Perdata dan Peraturan Presiden No. 96 Tahun 2018, pengakuan anak luar kawin tidak cukup hanya dengan dokumen administratif. Perlu putusan pengadilan.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 pun menegaskan, hubungan perdata antara anak luar kawin dan ayah biologis dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan salah satunya lewat tes DNA.
Dengan demikian, tes DNA memiliki bobot sebagai alat bukti yang sah dan kuat.
Tapi, ketika hasilnya menunjukkan tidak adanya kecocokan DNA, dampaknya tak main-main.
Secara hukum, tuduhan yang dilempar ke publik tanpa dasar kuat bisa berujung konsekuensi pidana.
Secara sosial, anak yang menjadi subjek dalam kasus ini yang bahkan tidak pernah memilih dilibatkanmenerima tekanan paling besar: stigma, cibiran, dan luka psikologis yang membekas.
Kasus ini membuka satu kenyataan pahit: kepercayaan dalam rumah tangga bisa runtuh hanya karena dugaan.
Tuduhan perselingkuhan dilempar ke publik, membuat kehormatan keluarga menjadi konsumsi orang banyak. Padahal, keluarga memerlukan kejujuran dan komunikasi yang sehat, bukan konflik yang diumbar.
Pelajaran pentingnya? Jangan gegabah bermedia sosial. Setiap unggahan bisa membawa dampak hukum.
Sekali tuduhan dilontarkan, nama baik orang lain bisa rusak, ketenangan keluarga hancur, dan masa depan anak jadi taruhannya.
Hukum memang hadir untuk memberi kepastian dan mengungkap kebenaran, tapi peran masyarakat tetap penting agar tak ada lagi korban dari kegaduhan yang seharusnya tak perlu terjadi.
Tes DNA ini jadi pengingat bahwa kebenaran tak bisa ditegakkan lewat asumsi.
Ia harus berpijak pada bukti. Dan dalam semua hiruk-pikuk itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan: anak harus dilindungi, bukan dikorbankan. Dan kehormatan keluarga itu bukan bahan gosip publik, melainkan harga diri yang mesti dijaga dengan tanggung jawab.