Jawa Timur Harus Belajar Kasus Pati soal Pajak Bumi dan Bangunan

Kamis 14-08-2025,19:20 WIB
Reporter : Rakhmat Hidayat
Editor : Aris Setyoadji

SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID –Demonstrasi yang terjadi di Kabupaten Pati, Cirebon, Bone, dan Singkawang bukan sekadar luapan ketidakpuasan warga terhadap kebijakan daerah. Fenomena ini menjadi pengingat bagi Pemprov Jawa Timur dan 38 kabupaten/kota di Jatim untuk lebih peka terhadap persoalan rakyat, salah satunya kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Anggota Komisi A DPRD Jatim, Freddy Poernomo, menyebut di balik spanduk dan teriakan massa aksi ada benang merah yang sama. “Jangan sampai desain hubungan keuangan pusat dan daerah sengaja dibuat mendorong daerah memeras sumber pendapatan lokal,” ujarnya.


Mini Kidi--

Politisi Golkar yang berlatar belakang doktor ilmu hukum pemerintahan ini menjelaskan, sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), pemerintah pusat menanamkan mekanisme “insentif” dalam Transfer ke Daerah (TKD). Semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dipungut, terutama dari PBB, semakin besar pula alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diterima daerah.

“Inilah politik fiskal wortel dan tongkat versi terbaru: hadiah bagi daerah yang patuh, dan hukuman sunyi bagi daerah yang malas memungut,” tegasnya.

Freddy menambahkan, tidak semua daerah memiliki tambang, ladang migas, atau perkebunan raksasa. Bagi banyak wilayah miskin sumber daya alam, PBB menjadi urat nadi PAD. “Kenaikan PBB bukan pilihan politik sukarela, tapi jalan terpaksa demi mengamankan aliran dana dari pusat,” katanya.

BACA JUGA:DPRD Jatim Minta Pengusaha Sound Horeg Taati Aturan

Ia mengakui, secara logis pemerintah pusat ingin daerah mandiri. Namun, kebijakan ini dianggap mengabaikan realitas di lapangan. “Menaikkan PBB di daerah miskin sama saja memungut pajak dari kantong yang sudah kosong,” ujarnya.

Freddy juga mengkritik keberanian pemerintah pusat di sektor pajak yang lebih adil. “Naikkan PPN? Rakyat protes, batal. Naikkan pajak SDA? Pengusaha protes, batal. Akhirnya beban digeser ke pemda dan pada akhirnya ke rakyat kecil,” katanya.

Sebagai solusi, Freddy mendorong opsi pajak kekayaan. Ia mencontohkan Inggris yang pernah memungut 10 persen dari kekayaan orang superkaya untuk menyelamatkan fiskalnya. “Hasilnya bukan hanya kas negara selamat, tapi juga menggerakkan sektor produktif,” tandasnya.

BACA JUGA:DPRD Jatim Soroti Ketimpangan Anggaran Program Gizi di Wilayah

Menurutnya, keberanian memajaki kekayaan besar adalah ujian moral sekaligus ujian kepemimpinan. “Pajak yang adil bukan hanya soal angka, tetapi juga keberpihakan,” ujarnya.

 

Mantan aktivis era Orde Baru ini menegaskan, pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pusat harus menanggung beban anggaran tinggi. “Membebani rakyat kecil dengan PBB demi menambal APBN adalah resep konflik sosial yang tak akan selesai di jalanan,” tutupnya. (day)

Kategori :