SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak terus dimatangkan DPRD Jatim. Raperda inisiatif dewan ini didorong untuk menghadirkan keadilan sejarah, terutama terkait aksi kekerasan berbasis gender, terhadap kelompok rentan bukan hanya soal hukum, tapi juga soal kemanusiaan dan keberanian mengakui luka masa lalu.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih menegaskan, Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak menjadi penting. Sebab pendekatan berbasis keadilan dan sejarah dalam penyusunan Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak akan menjadi basis perlindungan bagi kelompok rentan. “Kekerasan terhadap perempuan dan anak itu bisa terjadi di mana saja,” jelas Hikmah.
BACA JUGA:Fraksi PDIP DPRD Jatim Ingatkan Alih Fungsi Lahan Jadi Ancaman Swasembada Pangan Nasional
Mini Kidi--
Seperti seperti tahun 1998, ketika terjadi kerusuhan dalam skala besar, bukan lagi soal insiden. “Itu tragedi sejarah,” kata Hikmah.
Politisi PKB DPRD Jawa Timur ini, menilai masih banyak pihak yang memilih bungkam, atau bahkan menolak untuk mengakui peristiwa tersebut secara jujur.
“Pemerintah tidak menutup ruang bagi riset, pendataan ulang, dan konfirmasi langsung dari saksi-saksi yang masih hidup. Tujuannya bukan untuk membuka luka, tapi untuk memastikan bahwa sejarah kelam tidak terulang,” sebut Hikmah.
BACA JUGA:Gandeng Kejati, DPRD Jatim Perkuat Sinergi Hukum Bersih dan Berkeadilan
Bagi korban dan keluarganya, ini bukan soal ingin dikenang sebagai penderita. Ini soal pengakuan. “Bahwa mereka pernah ada, pernah disakiti, dan negara harus hadir, meski telat,” ujarnya.
Tragedi 1998, lanjutnya, menunjukkan bagaimana perempuan dari kelompok etnis tertentu menjadi target kekerasan seksual secara masif. Situasi semacam itu, menurut Hikmah, seharusnya memantik negara untuk menyusun skema mitigasi jangka panjang, termasuk dalam konteks konflik sosial di masa depan.
“Kita tidak berharap itu terjadi lagi. Tapi kalau tidak disiapkan, bukan mustahil kita gagap saat konflik muncul. Negara harus punya prosedur jelas, bukan cuma reaktif,” katanya.
BACA JUGA:DPRD Jatim Minta Pemprov Tak Lepas Tangan Soal Sengketa 13 Pulau Antara Trenggalek dan Tulungagung
Saat disinggung soal kemungkinan pembentukan tim pencari fakta baru, Hikmah menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah pusat. Namun ia menekankan, negara tidak boleh abai terhadap suara masyarakat. “Saksi hidup masih banyak. Jadi kalau itu dihapus atau dianggap rumor, itu kejam,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran akademisi dalam menulis ulang sejarah dengan pendekatan objektif, tanpa drama atau politisasi. “Sejarah itu ditulis apa adanya. Analisis dan pelajaran ada di kita. Kalau peristiwanya menyakitkan, ya tetap harus ditulis. Itu bekal kita ke depan,” ujar legislator asal PKB ini.
Bagi Hikmah, semangat Raperda ini tidak hanya bicara soal perlindungan hukum, tapi juga perlindungan martabat dan ingatan kolektif bangsa. “Kalau kita sungguh ingin melindungi perempuan dan anak, jangan cuma sekarang. Lindungi juga mereka yang pernah jadi korban dan ditinggalkan sejarah,” pungkasnya.(day)