Jihad menjadi Konglomerat

Minggu 10-05-2020,16:45 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Mohon maaf menggunakan kata jihad. Saya sebenarnya sangat menyukai kosa kata ini. Menurut saya, ini khazanah, kekayaan. Sayangnya, pengertiannya menjadi begitu menyempit, dikonotasikan radikal, ekstrim bahkan teror. Banyak orang menjadi alergi mendengarnya. Padahal, sebetulnya sangat powerful untuk memotivasi umat lebih berdaya. Jihad berasal dari jahada, yajhadu, jahdan yang berarti sungguh-sungguh. Menurut Ibnu Taimiyah jihad hakikatnya berusaha sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang diridhoi Allah berupa amal salih dan menolak sesuatu yang dimurkai Allah. Key words-nya: usaha sungguh-sungguh, maksimal. Maksimal niatnya, tenaganya, pikirannya, ilmunya, skillnya, maupun tekad dan sacrificing-nya. Pengorbanan jiwa dan raga. Karena itu, untuk sukses menjadi apa pun harus berjihad? Ingin sukses perang melawan hawa nafsu, perlu jihad. Ingin menjadi suami atau istri terbaik, perlu jihad. Ingin menjadi anak tersolih perlu jihad. Ingin jadi siswa terbaik, mahasiswa terbaik, karyawan terbaik, pemimpin terbaik, perlu jihad. Terbaik, terhebat, tersolih, selalu berada di puncak dengan piramid yang lancip. Itu membuktikan hanya sedikit yang bertengger di situ. Terbanyak adalah mediocre dan mereka yang underperformed. Jack Welch mantan CEO GE yang tersohor itu, mengatasinya dengan mengamputasi the worst 5 percent-nya. Saya berharap generasi muda kita berjihad menjadi konglomerat, untuk menjadi pebisnis, untuk berani menjadi pengusaha. Karena di sinilah titik lemah kita, ekonomi. Terlalu sedikit yang bercita-cita menjadi pengusaha. Kebanyakan pegawai, pegawai negeri, polisi, tentara, dan karyawan swasta. Lihatlah angka entrepreneurship index menurut databoks. RI hanya 1,5 persen dari jumlah penduduk, Singapura 7 persen, Malaysia 5 persen, dan Thailand 3 persen. Negara maju seperti AS dan Jepang masing-masing 12 dan 11 persen. Dari 1,5 persen jumlah entrepreneur Indonesia itu pun, Anda sudah tahu didominasi siapa. Gampang mengeceknya: buka google Forbes Indonesia's 50 Richest. Anda bisa mengecek nama-namanya, siapa saja. Dari sini saja, kita sudah tahu bahwa sebetulnya umat Islam minoritas dalam hegemoni ekonomi. Kita hanya mayoritas dalam jumlah populasi. Mantan Wapres Jusuf Kalla juga mengatakan itu. "Kita ini 88 persen muslim. Tapi, terlalu getol bicara politik keumatan, bukan ekonomi keumatan. Padahal, di sinilah titik lemah kita," katanya saat menghadiri rapat pleno ke-28 Dewan Pertimbangan MUI di Jakarta. Tak hanya JK, ketua OC Kongres Umat Islam Indonesia di Yogya Anwar Abbas juga menjelaskan kelemahan umat Islam Indonesia adalah di bidang ekonomi. Lalu, apa gunanya mayoritas itu jika tidak bisa memanfaatkannya untuk keberkahan ekonomi. Sampai kapan kita hanya bangga di jumlah, bukan yang lebih substansif dan stratejik. Padahal, lobi terkuat itu tidak hanya jumlah, juga ekonominya. Karena itulah Jewish lobby (lobi Yahudi) di AS sangat berpengaruh kepada keputusan Gedung Putih, karena dominasinya di media, Wall Street, dan Kongres. Semoga PR besar ini, ditangkap anak-anak muda kita dan siapa saja yang ingin berjihad ekonomi. Bahwa jihad menjadi konglomerat itu sangat mulia untuk kemaslahatan umat. 10 Mei 2020, ba'da Asyar Oleh: Ali Murtadlo* Presented by: Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Tags :
Kategori :

Terkait