Sebagai warga negara yang tinggal di sebuah dukuh kecil dan kerap ke pasar tradisional, penulis merasakan betul apa yang dirasakan masyarakat kebanyakan.
BACA JUGA:Apresiasi Gebyar Sadar Pajak Tahap II, Pj Wali Kota Malang Pesankan Tiga Poin
Turunkan Pajak 12 Persen!
Kenaikan PPN resmi berlaku per 1 Januari 2025, pasca pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024. Pasal 2 ayat (3), sebagaimana Presiden Prabowo menegaskan, bahwa pengenaan PPN 12 persen dikenakan pada barang-barang tertentu yang tergolong mewah, seperti kendaraan bermotor, rumah mewah, apartemen, kondominium, tow house, pesawat jet pribadi, dan lain sebagainya.
Walaupun pemerintah melalui Kementerian Pajak mengatakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi PPN 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen, tetap saja memiliki dampak signifikan bagi warga-masyarakat kecil, Pak Presiden. Seluruh kebutuhan pokok sekadar untuk hidup, pada naik. Pemerintah tak bisa mengontrol harga di pasar-pasar tradisional.
Narasi kenaikan pajak yang disebut akan menekan daya beli masyarakat, inflasi dan pertumbuhan ekonomi terutama di kelompok menengah ke bawah sehingga diprediksi dapat mengurangi konsumsi domestik, juga tak berbanding lurus dengan kenyataan bahwa daya beli akan kebutuhan dasar rumah tangga tak bisa ditunda. Seperti, cabai rawit yang kini harganya meroket hingga Rp 100 ribu per kilogram.
BACA JUGA:Upaya Mencapai Target Pajak Daerah, Bapenda Tulungagung Gelar Gebyar Undian Berhadiah Tahun 2024
Perlu Pak Presiden ketahui, bahwa, pada praktiknya, kenaikan PPN 12 persen itu tak sekadar terjadi pada barang-barang mewah. Namun, hampir seluruh kebutuhan pokok masyarakat mengalami kenaikan yang luar biasa. Kalau cabai rawit saja Rp 100 ribu per kilogram, apakah ini yang disebut menciptakan sistem perpajakan yang adil dan pro rakyat? Boleh lah, Pak Presiden turun ke bawah. Melakukan kunjungan ke pasar-pasar tradisional.
Kenaikan pajak berlangsung belum dua pekan. Tapi, masyarakat sudah merasakan dampak yang menguras kantong, Pak Presiden. Kasihan, sudah lapangan pekerjaan jauh dari ideal, pengangguran menjamur, penghasilan rumah tangga lempang kempis bahkan tak menentu, ditambah kenaikan pajak yang kian menghimpit ekonomi masyarakat.
Tak sedikit masyarakat yang menjerit akibat kenaikan pajak ini. Mereka hanya bisa berdoa, Pemerintah peka akan situasi dan kondisi riil di bawah.
Pak Presiden, berdasarkan gejolak di masyarakat, kenaikan pajak yang baru berjalan kurang dari dua pekan ini, nyata memberikan dampak pada bertambahnya pengeluaran masyarakat. Utamanya, mereka yang secara ekonomi tidak beruntung dan tergolong kelompok rentan. Mereka harus bersusah payah untuk menghidupi keluarganya. Menyekolahkan anak-anak untuk masa depannya.
Dalam tinjauan Psikologi, pengeluaran yang lebih besar dari pada penghasilan, berpotensi menurunkan kualitas hidup seseorang katena potensial mengancam kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dampak seriusnya adalah memperburuk ketimpangan ekonomi antara si kaya dan kaum papa. Sudah waktunya Pak Presiden mengevaluasi persoalan pajak ini.
BACA JUGA:KPU Tulungagung Lantik 94 Badan Adhoc Tingkat Kecamatan, Ini Daftar Gajinya
BACA JUGA:KPU Tulungagung Pastikan Seleksi Terbuka untuk Badan Adhoc Pilkada 2024
Adhoc kan KPU dan Bawaslu
Melihat kenyataan di atas, sudah waktunya Pak Presiden mengevaluasi kenaikan pajak karena bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaiknya, masyarakat menangis karena harus berjuang dan berjibaku dengan penghasilan uang pas-pasan. Tentu, Pak Presiden tak ingin dikenang sebagai pemimpin negeri yang tak punya sensitivitas pada problem dasar bangsa ini. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih menganga di depan mata. Jangan tambah penderitaan mereka.