Menurutnya, revisi aturan bagi hasil pajak kendaraan yang mengalokasikan 66 persen untuk pusat dan 34 persen untuk daerah, menyebabkan penurunan pendapatan Jawa Timur hingga Rp 4,1 triliun.
Hal ini menghambat upaya daerah untuk melakukan pembangunan infrastruktur yang sangat dibutuhkan, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Madura dan wilayah selatan Jawa Timur yang masih kesulitan mengakses peluang ekonomi.
"Jawa Timur mengalami penurunan signifikan dalam pendapatan akibat perubahan aturan bagi hasil pajak kendaraan. Daerah seperti Madura yang tidak memiliki banyak dealer atau showroom kendaraan, sering kali harus membeli kendaraan dengan plat nomor dari kota besar seperti Surabaya atau Malang, yang akhirnya mengurangi porsi penerimaan pajak daerah," lanjut Adhy.
Pj juga menyoroti permasalahan dalam sektor kelautan, khususnya terkait Penangkapan Ikan Terukur dan distribusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Laut.
Meskipun Jawa Timur memiliki kewenangan dalam pengelolaan zona laut hingga 12 mil, pendapatan dari sektor perikanan dan pelabuhan justru lebih banyak masuk ke pemerintah pusat.
Padahal, banyak pelabuhan besar di Jawa Timur, seperti Mayangan dan Lamongan, mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk pemeliharaan infrastruktur, namun hasil dari sektor ini lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat.
"Provinsi memiliki kewenangan dalam pengelolaan zona 12 mil laut, namun hasil dari sektor ini justru ditarik oleh pusat. Padahal, Jawa Timur memiliki pelabuhan besar seperti Tanjung Perak yang menyumbang omzet triliunan rupiah. Namun, hasil dari sektor ini tidak satu pun masuk ke kas provinsi," kata Adhy.
Pasca kunjungan tersebut, senator Lia Istifhama mengaku mendapatkan banyak PR yang menjadi sorotan kerjanya.
“Selain revisi UU DBHCHT, ada banyak materi penting yang dikaji dalam pertemuan keduanya. Diantaranya adalah revisi UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD),” terangnya.
“Jadi dari pertemuan dengan pak Pj. Adhy Karyono, saya mendapatkan PR besar terkait pentingnya revisi UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). UU ini, memiliki potensi masih membatasi daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga wajar jika daerah ingin memiliki keleluasaan lebih dalam menentukan pajak dan retribusi yang relevan dengan kebutuhan daerah, khususnya untuk memperkuat ekonomi lokal,” harapnya.