SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Pemilihan Wali (Pilwali) Kota Surabaya 2024 yang hanya diikuti satu pasangan calon (paslon) Eri Cahyadi dan Armuji, melawan bumbung kosong, menimbulkan beberapa kritik yang perlu diperhatikan.
BACA JUGA:Kemunculan Kotak Kosong, Pilwali Surabaya Tunjukkan Kualitas Parpol Tak Siap Berkontestasi
Dia Puspitasari SSosio MSi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya turut berbuka suara. Menurutnya hal itu menghadirkan sejumlah tantangan yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu isu utama adalah munculnya calon tunggal, pasangan Eri Cahyadi dan Armuji, yang didukung 18 partai politik.
BACA JUGA:Kotak Kosong Paradoks Demokrasi, Bukti Kegagalan Parpol Cetak Pemimpin Publik
"Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas demokrasi di Surabaya," kata Dia Puspitasari kepada memorandum.co.id, Rabu 4 September 2024.
Dosen muda ini juga mengungkapkan, pemilihan dengan calon tunggal melawan bumbung kosong sering kali dianggap sebagai bentuk demokrasi yang terbatas.
BACA JUGA:Deklarasi Coblos Kotak Kosong, MAKI Jatim: Perlawanan terhadap Matinya Demokrasi
"Masyarakat tidak diberikan pilihan yang beragam, sehingga esensi dari demokrasi, yaitu kebebasan memilih, menjadi kurang terasa, " ujarnya.
BACA JUGA:Target KPU Sulit Terwujud: Lawan Kotak Kosong, Partisipasi Pemilih Pilwali Surabaya Diprediksi Turun
Lebih lanjut Dia sapaan akrabnya menilai bahwa situasi ini mencerminkan kurangnya alternatif pemimpin yang dianggap layak oleh partai politik.
BACA JUGA:Lawan Kotak Kosong, Pilwali Surabaya Sudah Tak Menarik Lagi
"Hal ini bisa disebabkan oleh dominasi satu pasangan calon yang terlalu kuat atau kegagalan partai politik dalam menyiapkan kader-kader yang kompeten," jelasnya.
Kemudian, adanya deklarasi dari Aliansi Relawan Surabaya Maju yang mendukung bumbung kosong menunjukkan adanya ketidakpuasan publik terhadap partai politik yang tidak mengusung calon alternatif.