SURABAYA, MEMORANDUM – Mafia tanah harus diganyang karena menelikung hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat pemilik tanah yang sah. Mafia tanah tidak pandang bulu merongrong korban dari masyarakat umum bahkan pemerintah.
Demikian simpulan hasil diskusi terpandu atau Focus Group Discussion (FGD) tentang Mafia Tanah, yang berlangsung di Surabaya, Selasa (21/5/2024). Diskusi dipandu oleh Albert Kuhon dan dihadiri sejumlah wartawan dari Jawa Timur.
Para pembicara dalam diskusi tersebut antara lain Prof Dr Hotman M Siahaan (guru besar sosiologi Universitas Airlangga), Dr Ronsen Pasaribu (mantan Direktur Konflik Badan Pertanahan Nasional), G.A. Guritno (Direktur PT Gatra Multimedia Utama), serta wartawan senior di Surabaya, Lugas Wicaksono dan Jaka Wijaya.
BACA JUGA:Jatim Tak Bebas Mafia Tanah, Jaringan Terorganisasi
FGD tentang Mafia Tanah diselenggarakan untuk menjawab keresahan akan maraknya persekongkolan jahat sekelompok mafia tanah yang mengangkangi hak pemilik tanah yang sah di wilayah Surabaya. Ada indikasi sekelompok ahli hukum dan pemodal yang bekerja sama dengan aparat oenegak hukum untuk memperalat warga dan merebut lahan secara licik dari pemiliknya yang sah.
Mulai dari membuat surat keterangan palsu melalui kerjasama dengan aparat kelurahan, kemudian menggunakan surat-surat palsu itu ke pengadilan, hingga merekayasa kasus di pengadilan untuk merampas hak atas tanah dari pemiliknya yang membeli secara sah.
Dalam kesempatan itu, Profesor Hotman Siahaan menegaskan banyak kekerasan agraria yang mengalami kebuntuan di Indonesia. Bentuk kolusi berbagai pihak yang terdiri penjahat, pemilik modal, perangkat hukum, penguasa, dan pihak lain seringkali bersikukuh menggunakan peraturan hukum yang melahirkan kekerasan agraria.
BACA JUGA:7 Target Operasi Mafia Tanah di Jatim, Sahli ATR/BPN Bersinergi dengan Polda dan Kejati
“Dalam berbagai sengketa, hasil kolusi komplotan mafia tanah sering mengakibatkan pertarungan yang tidak seimbang antara kekuatan hukum dengan kalangan masyarakat atau rakyat yang membeli tanahnya melalui proses yang benar dan dengan itikad baik,” kata Hotman Siahaan.
Sementara itu, dalam penelusurannya selama mendalami kasus-kasus sengketa tanah di Surabaya sebagai wartawan di Jawa Pos, Lugas Wicaksono memaparkan banyaknya indikasi mafia tanah memanfaatkan celah hukum dan pencatatan tanah yang masih belum rapi untuk menguasai tanah secara sistematis, rapi, dan terencana.
Modus yang digunakan mulai dari memalsukan surat-surat tanah untuk menjual lahan milik orang lain, kemudian menggugat pemilik tanah, hingga indikasi kongkalikong dengan aparat hukum sehingga mendapat pengesahan dengan menang di pengadilan. Akibatnya, pemilik sah pun bisa ditelikung.
BACA JUGA:Eri Cahyadi Berharap Tidak Ada Mafia Tanah
“Mafia tanah bahkan bisa membuat pemilik tanah yang sah, pembeli beritikad baik, membayar pajak, dan bahkan sudah memilihi sertifikat tanah bisa kehilangan haknya hanya karena gugatan orang yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang memegang petok D. Pemegang sertifikat bisa kalah dengan pemegang petok D bisa menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Lugas.
Lugas memberi contoh kasus sengketa tanah di wilayah Darmo Permai di Surabaya antara Mulya Hadi dan Widowati serta Mulya Hadi dan Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera. Dalam kasus ini, Mulya Hadi yang mengklaim memegang petok D atas lahan seluas 10.000 meter persegi menjual lahan tersebut kepada dua orang yang berbeda yaitu Stefanus Sulayman dan PT Mobira Raya.
Dalam perkembangannya, status lahan tidak dapat ditingkatkan karena di atas lahan tersebut telah terbit sertifikat hak guna bagunan (SHGB) atas nama Widowati dan atas nama Yayasan CHHS. Faktanya, Widowati telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1996 dari PT Darmo Permai. Sementara Yayasan CHHS melalui proses jual beli sebelumnya.