Alam Berduka, Bandung Membara
--
TAHUN 2025 tinggal esok hari. Biasanya, di titik seperti ini, kita sibuk menghitung resolusi. Menyusun harapan. Menutup kalender dengan optimisme. Tapi akhir tahun kali ini terasa berbeda. Lebih berat. Lebih gaduh. Lebih jujur.
BACA JUGA:Operasi Lilin dan Dosa Tahunan
Alam lebih dulu memberi catatan. Dari Pulau Sumatra. Tanpa pidato. Tanpa konferensi pers. Kayu-kayu gelondongan meluncur, menghantam apa saja yang dilewatinya. Dua provinsi luluh. Rumah rusak. Akses terputus. Luka sosial tersisa.
BACA JUGA:Sekali Isap, Langsung Narkotika
Alam seolah berkata: ada yang salah.
Bukan hujan. Bukan angin.
Tapi keserakahan yang terlalu lama dibiarkan.
BACA JUGA:Ketika Banjir Mencari Bupati
Kayu gelondongan tidak jatuh dengan sendirinya. Ia hasil dari keputusan-keputusan kecil yang diambil bertahun-tahun lalu. Izin demi izin. Pembiaran demi pembiaran. Hutan yang dianggap tak lebih dari angka dalam laporan. Ketika akhirnya alam menagih, kita sibuk bertanya: siapa yang salah?
BACA JUGA:Drama Tumbler Berbuah Surga
Pertanyaan itu penting. Tapi sering kali berhenti di udara. Tak pernah benar-benar dijawab. Yang bergerak justru empati. Bantuan. Donasi. Relawan. Masyarakat saling menguatkan. Ironisnya, solidaritas warga sering lebih cepat daripada keberanian untuk mengoreksi kebijakan.
BACA JUGA:Barcode untuk Polisi Nakal
Namun negeri ini tidak pernah benar-benar sunyi.
Di tengah duka Sumatra, perhatian publik berbelok ke arah lain. Ke Bandung.
Sumber:


