Nataru Penuh Haru

Nataru Penuh Haru

Fatkhul Aziz--

Ada sesuatu yang ganjil pada Desember yang jatuh kali ini. Di etalase mal, sinterklas tersenyum plastis di balik rimbun pohon cemara buatan yang gemerlap. Lagu-lagu lama diputar—sebuah janji tentang kedamaian yang turun dari langit. Namun, di luar kaca-kaca gedung yang dingin itu, langit sedang mengirimkan kabar yang lain: gemuruh tanah, angin yang mengamuk, air yang naik tanpa permisi.

NataruNatal dan Tahun Baru—datang bukan sebagai perayaan yang tuntas, melainkan sebagai jeda di tengah kepungan amuk alam. Ada kontradiksi yang tajam: di satu sisi, kita bersiap merapikan koper, memesan tiket, dan membayangkan kehangatan meja makan. Di sisi lain, tanah longsor di lereng-lereng pegunungan, banjir yang merendam perkampungan, dan abu vulkanik yang menutup cakrawala mengingatkan kita bahwa bumi sedang gelisah. Dua alam yang berjalan beriringan, tapi tak saling tegur. Yang satu bersiap untuk pesta; yang lain bersiap untuk mengungsi.

BACA JUGA:Kota yang Runtuh dalam Asap


Mini Kidi--

Kita melihat kembang api disiapkan, sementara di tempat lain, ekskavator sibuk mengeruk lumpur. Ketegangan ini bukan sekadar soal cuaca ekstrem; ia adalah cermin dari kerapuhan kita. Perayaan, dalam artinya yang paling dalam, adalah sebentuk perlawanan. Perlawanan terhadap keputusasaan, terhadap rasa takut yang bisa melumpuhkan. Namun kegembiraan yang murni kini terasa hampir seperti sebuah tindakan etis yang berat. Bagaimana kita bisa sepenuhnya tertawa ketika di ujung telepon, atau di layar gawai, kita melihat sesama kita sedang mengais sisa atap rumah yang diterjang badai?

Liburan adalah upaya kita untuk melupakan beban, sebuah "penangguhan" terhadap kenyataan yang keras. Sedang bencana adalah sinyal bahwa alam tak pernah peduli pada kalender merah yang kita buat.

BACA JUGA:Kebaya dan Peta Sosial Nusantara

Di titik ini, kita hidup dalam sebuah ruang yang terbelah: hati ingin melompat ke dalam sukacita akhir tahun, tapi naluri tetap waspada, mendengarkan setiap bunyi aneh dari alam sekitar. Sejarah manusia barangkali memang ditulis dalam dua nada yang bersahutan: harapan dan kepedihan.

Namun, barangkali di sanalah letak spiritualitas yang sesungguhnya. Natal, bagi yang merayakannya, bermula dari sebuah kandang yang sunyi dan darurat—bukan di istana yang kokoh. Tahun Baru, pada hakikatnya, adalah langkah menuju yang tak diketahui.

Maka, Nataru tahun ini tak perlu menjadi parade kemewahan. Ia bisa menjadi momen untuk menunduk sejenak. Menyadari bahwa hidup adalah sebuah anugerah yang rentan. Kita merayakan bukan karena segalanya baik-baik saja, tapi karena di tengah ancaman bencana pun, kita masih memilih untuk saling menjaga, saling mengirim doa, dan berbagi sisa kehangatan yang ada. Setiap ucapan "selamat tahun baru" mungkin terselip doa yang lebih dalam: semoga bumi lebih bersahabat, semoga kita lebih siap.

BACA JUGA:Ketika Sekolah Menjadi Medan Laga

Di tengah gemuruh mendung Desember, mungkin yang kita butuhkan bukan sekadar hura-hura, melainkan sebuah solidaritas yang diam. Sebuah kesadaran bahwa dalam perahu yang diguncang badai ini, kita semua adalah penumpang yang sama.

Sumber: