Ironi di Negeri Agraris

Ironi di Negeri Agraris

Moch Syaifuddin SS--

Selama ini kita dininabobokan dengan slogan Indonesia adalah negara agraris. Dengan tanah yang subur dan aneka tanaman yang ijo royo-royo, banyak rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.

Itu dulu ketika lahan pertanian masih luas dan subur. Petani berjaya dan berdaya. Hasil pertanian yang melimpah, harga pupuk yang murah, dan harga hasil pertanian yang stabil, bisa dikatakan kehidupan mereka sangat makmur.

Namun kini, itu sudah berlalu diterbangkan angin ketidakbijakan pemerintah dan keserakahan pemodal besar yang merenggut nasib para petani.

Mereka semakin terpinggirkan. Bahkan bisa dikatakan, kayak orang  sekarat yang tinggal menunggu detik-detik kematian.

Bayangkan saja lahan pertanian banyak dikuasai pemodal atau konglomerat. Lahan petani menipis karena  dipakai perumahan mewah, pabrik, hingga industri.

Kalau pun petani yang masih memiliki lahan, itu pun tak seberapa luas. Sehingga, hasil pertanian mereka tak mampu untuk menutup biaya hidup sehari-hari.

Penderitaan mereka semakin parah karena harga pupuk semakin mahal sehingga sulit terjangkau. Kalau pun ada pupuk subsidi itupun  sulit mendapatkan.

Penderitaan ini  ditambah saat panen, tiba-tiba harga jatuh. Ironisnya, pemerintah diam melihat petani membuang hasil panen karena tak bisa dijual lagi ke pasar.

Jadi jangan heran sektor pertanian sekarang ini sudah tidak menjanjikan sebagai profesi yang bisa memberikan kesejahteraan baginya. Mereka pun banting setir menjadi buruh pabrik hingga pedagang kaki lima.  

Di Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sepuluh tahun terakhir juga menunjukkan bahwa persentase jumlah tenaga kerja Indonesia di sektor pertanian turun dari 35,09 persen per Agustus 2012 menjadi 28,61 persen per Agustus 2022.

Sebagian besar tenaga kerja sektor pertanian telah beralih ke profesi sektor lain seperti sektor transportasi, pergudangan, serta makan minum naik dari 5,00 persen menjadi 11,39 persen.

Sektor jasa naik dari 15,43 persen menjadi 16,18 persen, sektor industri naik dari 13,87 persen menjadi 14,17 persen, dan begitu pula sektor pertambangan, air bersih serta pengadaan listrik dan gas yang naik dari 1,67 persen menjadi 2,82 persen.

Makin sedikitnya jumlah tenaga kerja sektor pertanian ditambah dengan persoalan regenerasi petani yang cukup lambat, seakan menunjukkan bahwa kondisi petani kita sedang di ujung tanduk, tidak sedang baik-baik saja.

Generasi muda atau milenial masih banyak yang enggan terjun ke sektor pertanian. Sebenarnya bukan tanpa alasan, gembar-gembor ajakan menjadi petani milenial yang selalu digaungkan pemerintah kadang tidak selaras.

Sumber:

Berita Terkait