Menguatkan Brand Bandeng 'Si Bibir Merah' sebagai Kuliner Khas Kota Pasuruan

Menguatkan Brand Bandeng  'Si Bibir Merah' sebagai Kuliner Khas Kota Pasuruan

Seorang Ibu sedang membakar bandeng Jelak menjadi menu khas Bandeng Bakar Madu yang menjadi favorit para pembeli.--

Oleh: Muhammad Hidayat

Bagi masyarakat Kota Pasuruan, mungkin sudah tidak asing dengan nama Bandeng Jelak. Dinamakan Bandeng Jelak karena bahan baku ikan ini berasal dari kampung Jelakrejo, Kelurahan Blandongan, Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan.

Bandeng Jelak memiliki kekhasan yang tidak sama dengan bandeng daerah lain. Mantan Sekretaris Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pasuruan, Iskandar dalam riset dan presentasinya menyatakan, Bandeng Jelak memiliki kekhasan tersendiri.

Misalnya, tidak bau tanah/lumpur, memiliki cita rasa daging yang gurih dan mantab, durinya juga lembut. Tidak seperti bandeng lainnya yang cenderung dijauhi, karena banyak duri dan tajam.

“Makanya, Bandeng Jelak itu juga banyak disukai anak-anak. Karena durinya lembut dan ukuran badannya relatif kecil. Apalagi, kalau sampai diolah, dicabut durinya, tentu makin bagus lagi,” ucap Iskandar saat dihubungi di Bangil, tempat kediamannya saat ini.

Iskandar sendiri juga pernah mengangkat tema Bandeng Jelak sebagai program S2 (Tesis) di Universitas Brawijaya Malang. Ia mengambil judul Tesis: “Budidaya Udang Bandeng Sistem Tradisional Plus”.

Yang dimaksud Plus dalam penelitian Tesis-nya adalah membahas Bandeng Jelak dengan segala produk olahannya.

“Saya melihat potensi budidaya Udang dan Bandeng dalam sistem Tumpangsari itu bagus. Produktivitas dan kualitas dua ikan itu sama-sama meningkat. Ini juga bisa diterapkan pada Bandeng Jelak,” sarannya.

Selain itu, Bandeng dengan spesies Chanos Chanos Forshal ini memiliki kadar garam yang relatif minim. Kadar Salinitas berkisar antara 15 – 25 promil.

Warna Bandeng Jelak juga agak kebiruan pada punggung. Dalam tambak petani di Jelak juga tumbuh Klekap. Sejenis ganggang biru (Lyngbia dan Phormydium). Bagus untuk perkembangan Bandeng Jelak.

Yang mungkin tidak ada di daerah lain, adalah warna bibir Bandeng Jelak. Warnanya Merah menggoda. “Bibirnya seperti bergincu. Penjualnya juga bergincu,” celetuk Nur Hayati, Ketua Kelompok Pengelola dan Pemasaran (Poklasar) Jelak Jaya Food saat ditemui 21 April 2024 lalu.

Ya, Si “Bibir Merah”, sebutan Bandeng Jelak ini bisa menjadi brand pembeda dari daerah lain. Rata-rata bandeng yang dihasilkan petani asal Gresik, Sidoarjo, Mojokerto atau daerah lain, rata-rata berbibir putih. Atau cenderung biru.

Namun Bandeng Jelak ini saat diangkat ke atas, warna bibirnya merah. Jika ada kontes kecantikan Ikan, mungkin Bandeng Jelak bisa diusulkan untuk lomba tersebut.

“Masalah bibir merah sebagian besar Bandeng Jelak memang bergincu merah. Utamanya setelah terangkat dari air,” ujar Rosepta Dini Febriani (Septa), Analis Akuakultur Ahli Muda pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pasuruan.

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Kota Pasuruan, menurut Septa, saat ini luas total lahan tambak ikan bandeng di Kota Pasuruan mencapai 636 hektare pada 2023. Luasan lahan tambak itupun tidak hanya di daerah Jelakrejo saja, melainkan menyebar Gadingrejo, Mandaran, Tambaan, Tapaan, Kepel dan Blandongan.

Luas lahan ini terus menyusut tiap tahun. Kendati luas lahannya mencapai 600 hektar sekian, namun yang digunakan untuk budidaya di Kampung Jelak hanya kurang dari 200 hektar.

Bandingkan dengan wilayah Sidoarjo atau Gresik. Satu pemilik lahan saja ada yang memiliki ratusan hektar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur pada 2018 mencatat, dari total luas lahan tambak di Jawa Timur sebesar 51.286,71, Gresik dan Sidoarjo memiliki lahan seluas masing-masing 15.601,00 Ha dan 15.513,41 Ha.

Karena luas lahan yang minim, maka total produksi ikan Bandeng Jelak juga relatif kecil. Data di Dinas terkait menyebutkan, pada tahun 2023, produksi ikan Bandeng Jelak mencapai 1.834.363 kilogram.

Kemudian pada Februari 2024, produksi Bandeng Jelak sebesar 243.685 Kg. Sementara untuk total produksi olahan bandeng per bulan kurang lebih 10.049 kilogram.

“Kalau produksinya cuma segitu, maka tidak bisa produksi massal. Hanya cukup untuk dijual kalangan lokal. Sama beberapa pesanan daerah tetangga saja. Probolinggo, Malang, Mojokerto. Tapi pada saat benar-benar digeber sebagai brand besar-besaran, apakah budidaya mereka siap?” koar Soemarjono, Ketua Komisi 2 DPRD Kota Pasuruan saat dihubungi Senin (22/4).

Soemarjono menilai problem yang dihadapi Pemkot Pasuruan dalam memasarkan Bandeng Jelak, bukan hanya persoalan brand keluar daerah. Atau soal diversifikasi produk olahan.

Melainkan pada luasan tambak dan bagaimana memberikan semangat pada pembudidaya agar meluaskan produksinya. Karena, ia melihat Bandeng Jelak punya pembeda dibanding bandeng daerah lainnya.

“Saya melihat Bandeng Jelak ini dari dulu ya stagnan seperti itu. Tidak banyak perubahan. Kami di dewan sudah memfasilitasi pada dinas terkait, ayo kalau mau tambahan anggaran agar Bandeng Jelak ini go Nasional, programnya apa. Kami siap bantu. Tapi, kami tunggu sampai sekarang, belum ada greget ke arah sana,” cetusnya.

Yang juga menjadi perhatian politisi Gerindra ini adalah soal Hak Paten. Menurutnya, sampai saat ini, Bandeng Jelak belum dipatenkan oleh Pemkot Pasuruan.

Artinya, secara brand belum begitu kuat. Karena belum bisa diakui secara nasional. Sehingga, ketika memasarkan dengan skala yang lebih luas pun – termasuk melalui digital marketing, maka brand nya belum begitu meyakinkan.

“Saya ke Malang atau Surabaya saja, saya tanya soal kuliner ikan Bandeng Jelak, mereka banyak yang ndak tahu, kok. Ini juga menjadi PR serius buat Pemkot Pasuruan,” cetusnya.

Septa sendiri mengakui jika masih banyak PR yang perlu dibenahi. Termasuk soal keterbatasan lahan yang memicu terjadi minimnya produksi.

“Kenapa bandeng di Gresik besar-besar. Karena sistem pemeliharaannya sudah intensif dan tidak tradisional lagi. Biaya pemeliharaan juga lebih besar. Akan tetapi karena rata-rata kepemilikan tambak cukup luas, maka biaya tersebut masih dinilai menguntungkan,” ujarnya mencoba menjawab persoalan keterbatasan lahan tambak.

Selain persoalan kurang luasnya lahan, Septa juga menilai ada problem mindset dari petambak jika didorong menggunakan metode intensif. Selain biaya yang dialokasikan cukup besar, para petambak lokal beranggapan, jika dipelihara secara tradisional saja sudah untung, lha kenapa harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi.


Okelah, untuk persoalan lahan memang masih menjadi pekerjaan rumah dari dinas terkait. Namun dinas juga tetap bekerja dalam melakukan pendampingan. Baik berupa pelatihan, penyuluhan maupun memfasilitasi kepada para kelompok UMKM.

Terdapat 11 kelompok UMKM olahan Bandeng Jelak. Setiap kelompok beranggota 8-10 orang. Namu dari jumlah itu, kelompok pengolah bandeng yang aktif ada 4 di wilayah Jelakrejo. Yakni, Jelak Joyo Food, Jelak Maju, Jelak Berkarya dan Jelak Sodo Wae. Merekalah yang sering dibina dan diajak ikut pameran.

Termasuk ketika ada Festival Bandeng Jelak yang biasanya digelar setiap tahun. Rencananya pada Festival Bandeng Jelak kelima, sekitar Mei akan digelar di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan di Jl Ir H Juanda.

Olahan ikan bandeng yang sudah diproduksi 4 kelompok di Jelakrejo ini sebenarnya sudah lumayan. Seperti olahan bandeng bakar madu, bandeng presto, Otak-otak, bandeng krispi, abon bandeng, sate komo bandeng, hingga botok bandeng. Mereka rata-rata sudah memproduksi sudah bertahun-tahun.

Dari produk olahan bandeng, menurut Nurhayati, Ketua Poklasar Jelak Joyo Food, bandeng bakar madu dan sate komo yang menjadi primadona. Pilihan favorit. Banyak dicari konsumen atau wisatawan.

Harga satu porsi bandeng bakar madu plus nasi dijual dengan harga Rp 26 ribu. Sedangkan nasi plus sate komo bandeng dalam seporsi seharga Rp 21 ribu.

“Tapi sayangnya, atap warung kami sekarang bocor, Pak. Jadi sementara masih diperbaiki. Kalau ada tamu, ya ndak bisa makan disini,” gumamnya.

Sementara, jika pesanan tanpa nasi, Nurhayati menjual bandeng olahannya lebih bervariasi. Bandeng bakar madu saja seharga Rp 21 ribu. Krispi Rp 16 ribu. Otak-Otak Rp 18 ribu. Presto Rp 15 ribu, Sate bandeng Rp 16 ribu dan botok dengan harga Rp 16 ribu.

Soal pemasarannya sendiri, Nurhayati menegaskan jika dirinya lebih banyak memasarkan secara manual dan pesanan. Misalnya menyiapkan untuk pembeli yang datang langsung.

Buat oleh-oleh, souvenir atau kudapan di tempat. Namun, ada pula pesanan dari restoran, warung atau cafe. Ia juga mengapresiasi program dari Dinas perikanan yang ikut membantu memasarkan, melalui program Banser (Bandeng Serbu Restoran).

Ada beberapa warung dan restoran di Kota Pasuruan yang memesan Bandeng Jelak untuk suguhan pembeli mereka. “Kadang ada juga pesanan melalui nomor whatsApp, facebook atau instagram kami,” ucap Nurhayati.  

Soal bahan baku berasal dari daerah sendiri, mungkin Kota Pasuruan masih lebih baik dari Kota Semarang. Saat studi banding di Kota Semarang pada 5-7 Maret 2024 lalu, Bekti Munjazanah, Kabid Budidaya Ikan Dinas Perikanan Kota Semarang menyatakan, jika suplay atau bahan baku bandeng Semarang berasal dari daerah lain. Mulai dari Kendal, Pekalongan, Pati atau kota lain.

“Kita sendiri tidak memiliki lahan tambak yang luas. Sehingga kebanyakan bahan baku bandengnya dari luar daerah. Tapi, olahan produknya, kemasan, cap dan pemasarannya dari kita (Semarang),” jelas Bekti.


Strategi pemasaran berupa Bandeng Juwono Semarang inilah yang kemudian diangkat menjadi primadona kuliner bandeng Jawa Tengah. Olahan bandengnya nyaris sama dengan olahan bandeng di Kota Pasuruan.

Namun, pola pemasaran mereka lebih modern. Masuk ke gerai-gerai, showroom dan beberapa titik-titik strategis di toko swalayan Kota Semarang.

Sehingga, ketika ada wisatawan atau tamu dari luar Kota ataupun mancanegara yang menginginkan Bandeng Juwono, maka sudah ada papan petunjuk.

Termasuk melalui media sosial dan aplikasi (digital marketing) yang siap membantu mereka mendapatkan bandeng Semarang.



Pemkot Diminta Lebih Serius

Masih banyak PR yang harus dilakukan Pemkot Pasuruan dalam mengangkat Bandeng Jelak Go Nasional. Dari sisi bandeng olahan saja, Iskandar, mantan Sekretaris Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pasuruan punya banyak masukan.

Misalnya, yang belum ada saat ini adalah pepes Bandeng, Bandeng kuah kuning, bandeng semur, Gule atau kuah kepala bandeng, atau krupuk duri bandeng. Bagus untuk pasien yang terkena asteoporosis (pengapuran tulang).

Khusus untuk kuah kepala bandeng, menurut Iskandar sebenarnya bisa dilakukan pendampingan dinas terkait kepada kelompok atau UMKM.

“Karena kepala bandeng banyak dicari oleh wisatawan. Terutama luar negeri. Karena di otak bandeng mengandung hemoglobin yang tinggi. Otak bandeng bisa juga dibuat kapsul. Dan bisa juga berfungsi sebagai kejantanan,” ujarnya.

Untuk souvenir atau oleh-oleh produk bandeng misalnya, tentu juga butuh yang tahan lama. Maka menurutnya perlu dibuatkan varian lain. Seperti bandeng asap. Ini banyak dijumpai di daerah Kedungboto Beji, lalu di dekat jalan raya Dringu Probolinggo atau di Sidoarjo.

“Lantas kenapa di Kota Pasuruan tidak ada yang jualan bandeng di dekat jalan raya. Atau di sentra kuliner PLUT atau pelabuhan”.

Bisa juga dibuatkan bandeng tanpa duri dan dijadikan filed. Dimasukkan di frozen atau pembekuan. Sehingga bisa bertahan cukup lama. Bisa untuk oleh-oleh (souvenir) wisatawan luar kota, bahkan luar pulau.

Tentang brand dan pemasaran, Iskandar berharap ada showroom yang representatif untuk memasarkan bandeng Jelak. Iskandar mengusulkan pemasaran bisa ditempatkan pada bangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi Usaha Mikro dan Menenngah (PLUT KUMKM) Gadingrejo.

PLUT sudah diresmikan Walikota Gus Ipul, beberapa waktu lalu. Lokasinya strategis, karena berada di jalur pantai utara.

“Disitu bisa berkumpul semua UMKM untuk pemasaran. Mulai hasil pertanian, kerajinan, handycraft, dan juga olahan bandeng jelak. Kalau bisa lebih baik lagi kalau ada tempat makannya juga. Menyajikan kuliner khas Bandeng Jelak. Buat warung tanpa dapur. Warung khusus penyajian bandeng Jelak dengan aneka olahannya. Kita berharap orang Banyuwangi, Jember, Situbondo sampai Probolinggo yang mau ke arah Surabaya atau Malang, yang biasanya lewat tol, mau turun sebentar ke Pasuruan. Minimal untuk sarapan atau makan siang bandeng Jelak. Tentu itu luar biasa,” harapnya.

Seperti halnya di Sidoarjo, menurut Iskandar, Pemkot Pasuruan juga harus berani mencanangkan salah satu ikon khas Bandeng Jelak di tempat-tempat strategis.

Ada gambar atau miniatur bandeng besar yang dipasang di jalan masuk Kota Pasuruan. Bisa juga di depan PLUT atau baliho di dekat jalan tol.

Sehingga orang yang biasanya lewat jalan tol, bisa tahu kalau Kota Pasuruan lagi gencar-gencarnya promosi Bandeng Jelak.

Ketua Komisi 2, Soemarjono juga mendorong agar Pemkot Pasuruan serius mengangkat ikon bandeng Jelak sebagai ikon khas Kota Pasuruan.

“Segera Patenkan Bandeng Jelak. Perluas area tambak agar produksi bandeng Jelak lebih meningkat. Dan harus berani melakukan lompatan besar untuk memasarkan bandeng Jelak ini sampai nasional. Harus lebih serius. Jangan setengah-setengah,” tegasnya. (mh)  


Sumber: