Sejarah dan Filosofi Lebaran Ketupat

Sejarah dan Filosofi Lebaran Ketupat

Sejarah dan Filosofi, Lebaran Ketupat, dan Lepet dari Sunan Kalijaga. -Istimewa-

LAMONGAN, MEMORANDUM - Idulfitri merupakan momentum suci bagi umat Islam di dunia termasuk di Indonesia yang dikenal penduduknya memeluk agama Islam terbesar di seluruh dunia. Tak ayal, perayaan Idulfitri di Indonesia juga paling ramai di banding negara-negara lain.

BACA JUGA:Penerimaan Akpol, Bintara, dan Tamtama Polri 2024 : Berikut Syarat dan Jadwal Pendaftaran 

Idulfitri dilaksanakan setelah umat Islam melaksanakan puasa selama sebulan. Untuk menandai berakhirnya Ramadan dan memasuki 1 Syawal, umat Islam di Indonesia menamainya dengan istilah Lebaran atau Hari Raya (Riyoyo).

BACA JUGA:Pendaftaran Akpol 2024 Dibuka! Ini Syarat dan Jadwal Pendaftarannya

Dilansir dari laman maalfalahmargoyosojpr.sch.id, Sejarah dan Filosofi, Lebaran Ketupat dan Lepet dari Sunan Kalijaga. Namun di Pulau Jawa, Lebaran dikenal ada dua macam yaitu lebaran Idulfitri (1 Syawal) dan Lebaran Ketupat (8 Syawal) yakni seminggu setelah Idulfitri. Lebaran ketupat di sebagian daerah bahkan sudah menjadi tradisi turun-temuran dirayakan lebih ramai daripada Idulfitri.

BACA JUGA:Selain Ketupat Sayur, Ada Ketupat Sotong Melayu yang Nikmat, Pernah Coba? 

Kenapa Lebaran Ketupat bisa lebih ramai daripada Idulfitri? Hal ini tak lepas dari tuntunan agama Islam, di mana Nabi Muhammad SAW menganjurkan bagi umat Islam supaya menyempurnakan puasa Ramadan dengan puasa sunah 6 hari dimulai setelah 1 Syawal karena pahalanya bisa menghapus dosa seseorang untuk 1 tahun ke depan.

BACA JUGA:Lebaran Makin Berkah! Ketupat Tahan Lama dengan 4 Tips Cerdas Ini 

Jadi di daerah yang mentradisikan Lebaran Ketupat biasanya warganya setelah Idulfitri tetap berpuasa sunat selama 6 hari. Ketika masuk 8 Syawal itulah mereka baru berlebaran sebagaimana layaknya masyarakat muslim lainnya.

BACA JUGA:Mengapa Ketupat dan Opor Ayam Jadi Hidangan Khas Lebaran 

Di tilik dari sejarahnya, sebagian riwayat menuturkan bahwa Lebaran Ketupat di Jawa kali pertama diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga Raden Said saat beliau memperkenalkan isltilah ba’da (setelah) kepada masyarakat Jawa.

BACA JUGA:Tips Memasak Ketupat Cepat dan Hemat Gas 

Ba’da yang dimaksud Sunan Kalijaga adalah ba’da Lebaran dan ba’da Kupat. Ba’da Lebaran dipahami dengan prosesi Shalat Idulfitri 1 Syawal lalu dilanjutkan dengan tradisi silaturrahim saling berkunjung dan memaafkan kepada sesama muslim.

BACA JUGA:Makna Ketupat pada Hari Raya Idul Fitri, Simbolisasi Kebersihan dan Kesucian 

Sedangkan ba’da Kupat dimulai setelah seminggu Lebaran Idulfitri. Sebagai penanda, masyarakat muslim Jawa biasanya membuat ketupat yakni sejenis makanan yang dibuat dari beras dimasukkan dalam anyaman daun kelapa muda (Janur) berbentuk kantong persegi empat, kemudian dimasak.

BACA JUGA:Tradisi Ketupat, Berikut Filosofi Makanan yang Tak Pernah Absen Saat Lebaran Ini 

Setelah ketupat masak dan diberi lauk pauk ikan, telor dan daging serta diberi kuah bersantan, masyarakat kemudian membagi-bagikan kepada tetangga, kerabat keluarga terdekat serta orang yang lebih tua sebagai perlambang kasih sayang dan mempererat tali silaturrahim.

 

Filosofi dan Makna Ketupat

Dalam tradisi Jawa sebuah nama itu pasti mengandung arti yang dalam, termasuk kata Ketupat atau Kupat itu singkatan dari Ngaku Lepat (Mengakui Kesalahan) dan Laku Papat (Empat Tindakan).

 

Prosesi Ngaku Lepat diimplemantasikan dengan tradisi sungkeman yaitu seorang anak bersimpun memohon maaf dihadapan orang tuanya. Dari tradisi itu kita diajarkan supaya menghormati orang yang lebih tua dan memohon maaf serta meminta bimbingan serta ridanya karena yang tua dianggap lebih berpengalaman dalam menjalani kehidupan. Begitupun sebaliknya yang tua akan mengasihi dan membimbing yang lebih muda.

 

Simbol tradisi sungkeman atau meminta maaf itu berupa ketupat. Sebab saat kita berkunjung ke rumah kerabat maka akan diberi suguhan ketupat dan diminta untuk dicicipi atau dimakan. Apabila ketupat itu dimakan maka secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala kesalahan serta kekhilafan yang pernah terjadi antar keduanya akan terhapus.

 

Kemudian untuk Laku Papat, Sunan Kalijogo menggunakan empat kata atau istilah yakni Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan.

 

Lebaran berarti akhir atau usainya waktu bulan puasa ramadhan dan bersiap menyongsong hari kemenangan Idul Fitri (kembali suci). Luberan bermakna melebur atau melimpah seperti air yang tumpah karena sudah terisi penuh. Pesan moral Luberan adalah membudayakan mau berbagi kepada orang yang tidak mampu serta membayar zakat karena itu hak orang miskin dan harus diberikan agar harta kita juga menjadi suci.

 

Sedangkan Leburan bermakna habis atau menyatu. Artinya momen lebaran itu untuk melebur dosa terhadap satu dengan yang lain dengan cara meminta maaf dan memberi maaf, sehingga dosa kita dengan sesama bisa nol kembali.

 

Terakhir, Laburan dari kata labur atau kapur. Kapur merupakan zat pewarna berwarna putih yang bisa digunakan untuk menjernihkan benda cair. Dari Laburan ini bisa dipahami bahwa hari seorang muslim harus bisa kembali jernih nan putih layaknya kapur yang menjadi simbol supaya manusia bisa menjag kesucian lahir dan batinnya.

 

Bahan pembuatan Ketupat Lepet juga memiliki makna filosofi tersendiri. Misalnya, kenapa harus dibungkus dengan janur? Janur, diambil dari bahasa Arab “Ja’a Nur” (telah datang cahaya).

 

Bentuk flsik kupat yang segi empat ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya maka hatinya seperti kupat yang dibelah, pasti isinya putih bersih, hati yang tanpa iri dan dengki karena hatinya sudah dibungkus cahaya (ja’a nur).

 

Lepet dari kata silep kang rapet. Monggo dipun silep ingkang rapet (mari kita kubur/tutup yang rapat). Jadi setelah mengakui kesalahan (lepat), kemudian meminta maaf, maka kesalahan yang sudah dimaafkan itu jangan pernah diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.

 

Betapa besar peran para wali dalam memperkenalkan agama Islam dengan santun. Karena itu umat Islam di Nusantara khususnya Jawa sudah seharusnya memuliakan budaya atau ajaran yang telah disampaikan para wali di Indonesia ini.

 

Inilah cikal bakal munculnya kalimat Mohon maaf lahir dan bathin, ngaturaken sedoyo kelepatan disaat ‘ldulfitri di Indonesia dan Pulau Jawa pada khususnya. (*)

Sumber: