Body Count: Hal Tabu yang Dinormalisasi saat Ini
Perbincangan tentang "body count" atau jumlah pasangan seksual, masih dianggap tabu di Indonesia. -Unsplash-
MEMORANDUM - Perbincangan tentang "body count" atau jumlah pasangan seksual, masih dianggap tabu di Indonesia.
Budaya patriarki dan stigma sosial yang melekat pada seksualitas, membuat topik ini terbungkam dan tersembunyi. Ironisnya, di balik tabu tersebut, normalisasi body count justru terjadi, terutama di kalangan muda.
Normalisasi body count ini terlihat dari beberapa fenomena:
1. Media sosial: Platform media sosial sering menampilkan konten yang mengagungkan body count sebagai pencapaian atau simbol kejantanan.
2. Pergaulan: Di kalangan remaja dan dewasa muda, body count menjadi bahan candaan, pamer, dan bahkan tolak ukur "kepopuleran".
3. Budaya patriarki: Pandangan seksis yang menempatkan laki-laki sebagai "penakluk" dan perempuan sebagai "objek", membuat perempuan dihakimi atas body count mereka.
Normalisasi body count membawa dampak negatif:
1. Tekanan dan kecemasan: Bagi mereka yang memiliki body count "rendah", muncul rasa malu, insecure, dan tertinggal.
2. Objektifikasi seksual: Body count menggeser nilai individu menjadi objek seksual, bukan manusia utuh dengan nilai dan perasaannya.
3. Stigma dan diskriminasi: Terciptanya stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki body count "rendah" atau "tinggi".
4. Melemahkan nilai seksualitas: Seksualitas direduksi menjadi perlombaan dan pencapaian, bukan tentang keintiman dan koneksi.
5. Memperkuat budaya patriarki: Normalisasi body count melanggengkan budaya patriarki dan misoginis yang merendahkan perempuan.
Masyarakat perlu:
1. Meningkatkan edukasi dan kesadaran tentang dampak negatif body count.
2. Menolak glorifikasi body count di media sosial dan budaya populer.
3. Membangun kepercayaan diri dan self-love, sehingga tidak terpengaruh oleh tekanan dan stigma body count.
4. Menyebarkan pesan positif tentang seksualitas yang sehat, konsensual, dan tanpa tekanan. (mg2)
Sumber: