Kiat Bripka Popong Yulianto Tingkatkan Ekonomi Nelayan dan Cinta Lingkungan
Gresik, Memorandum.co.id - Bagi nelayan di Pulau Putri, sebutan lain Pulau Bawean, nama Bripka Popong Yulianto adalah pahlawan ekonomi masyarakat. Sebab, bintara polisi berusia 37 tahun ini telah mengubah ekonomi nelayan di pulau yang jaraknya 80 mil dari daratan Gresik itu menjadi sejahtera. Tak hanya mengubah penghasilan nelayan yang sebelumnya kekurangan, tetapi pria yang bertugas sebagai anggota Pengamanan Internal (Paminal) Polres Gresik ini juga mengubah perilaku nelayan di Pulau Bawean menjadi lebih mencintai lingkungan laut, khususnya terumbu karang dan habitat laut. Apa saja yang telah dilakukan anak buah Kapolres Gresik, AKBP Kusworo Wibowo ini sehingga bisa mengubah ekonomi nelayan di pulau itu dan juga bisa mengubah nelayan cinta lingkungan? Awalnya, beberapa tahun lalu, saat pulang ke kampungnya di Bawean, Popong melihat cara mencari ikan nelayan menggunakan putau atau potasium serta tumbak. Padahal, cara yang digunakan oleh nelayan itu bisa merusak terumbu karang serta habitat lainnya yang ada di laut. Selain itu, hasil tangkapan ikan kondisinya sudah mati, karena terkena obat atau tumbak. Harganya pun relatif sangat murah, Rp 50 ribu per kilogram. Padahal harga ikan di Jawa (Surabaya atau Gresik-red) bisa tembus Rp 70-Rp 80 ribu per kilogramnya jika masih dalam kondisi hidup. Melihat hal itu, Bapak dua anak ini terpanggil untuk mencari solusi. Pertama yang dilakukan adalah menembus salah satu eksportir ikan di wilayah Gresik. Namun juga kesulitan. Hingga ke Kota Surabaya juga masih belum menemukan juga. "Kami rasanya hampir putus asa karena berbulan-bulan cari solusi itu tidak ketemu. Suatu ketika ada yang memberitahu bahwa salah satu eksportir di wilayah Bandara Juanda, Sidoarjo," jelas suami Husnus Zurfah itu. Tanpa menunggu lama, dirinya langsung menuju alamat tersebut. Awalnya kesulitan, karena memang orang baru. Tetapi berkat ketelatenan melakukan pendekatan, dirinya menemukan jalan dengan didapatnya informasi bahwa kalau mau ikan kerapu harga mahal, ya harus dijual dalam kondisi hidup. Pembelinya dari luar negeri. Harganya bisa tembus Rp 500 rubu/kg hingga Rp 800 ribu/kg. "Hati saya merasa plong, hingga orang itu menjelaskan secara teknis," kata polisi yang lama menjadi anggota Intelkam Polres Gresik itu. Akhirnya, diberikan nomer salah satu eksportir di luar negeri itu. "Untungnya saya sedikit bisa bahasa Inggris, walau tidak sempurna. Selanjutnya, terjadilah transaksi pengiriman. Awalnya dalam jumlah kecil," kata ayah Witqih Dunam Aurapofah dan Witqih Maydude Rapofah ini. Dari situlah awal Popong memberikan pengertian ke seluruh nelayan di Bawean. Bahwa ikan kerapu itu bisa mahal, asal cara menangkap dan mengemasnya dilakukan secara benar. "Kami menggandeng instansi terkait untuk memberikan penyuluhan kepada nelayan tata cara menangkap ikan kerapu dengan benar tanpa menggunakan alat dan tidak merusak terumbu karang maupun membunuh habitat laut lainnya," tutur Diktukba Polri gelombang II tahun 2003 angkatan 27 itu. Dari situlah, kesadaran nelayan yang ada di Pulau Bawean timbul untuk menjaga lingkungan laut. Bahkan, mereka saling menjaga jangan ada yang merusak. "Kami sangat bersyukur dan lega, karena jerih payah selama ini yang saya lakukan berhasil. Yang pertama sekarang nelayan di Bawean mencintai lingkungan laut dan secara ekonomi nelayan yang selama ini pas-pasan menjadi lebih baik," ucap Popong. Upaya yang dilakukan Popong dalam meningkatkan ekonomi nelayan dan mencintai lingkungan laut ini diakui oleh sejumlah nelayan Bawean. "Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Popong, karena atas perjuangannya membantu nelayan, sehingga bisa meningkatkan ekonomi yang dulu pas-pasan kini sangat cukup," kata Hasan diamini oleh Ziad rekannya sesama nelayan.(har/gus)
Sumber: