Kasus Sekeluarga Bunuh Diri di Malang, Psikolog: Kesulitan Temukan Jalan Keluar
psikolog dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Nurul Qomariah --
SURABAYA, MEMORANDUM - Kasus bunuh diri di Indonesia kembali bertambah. Terbaru, keluarga asal Malang yang terdiri dari ibu, bapak, dan anak bungsu nekat mengakhiri hidup dengan cara meneguk racun dan menyayat urat nadi.
Merespons hal ini, psikolog dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Nurul Qomariah SPsi MPsi psikolog melayangkan keprihatinannya. Menurut dia, penting untuk memberikan bantuan atau atensi kepada orang yang mengalami tanda-tanda kesulitan.
Sebab, lanjut dia, ketika seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidup, maka itu bukanlah keputusan tiba-tiba. Mereka mengambil langkah tersebut juga bukan berarti tidak sayang dengan nyawanya, dirinya maupun keluarga.
Namun yang terjadi adalah mereka sudah melewati proses berpikir yang panjang dan rumit. Bahkan, beberapa orang sudah berupaya menyelesaikan masalahnya hingga mencari bantuan. Akan tetapi semakin berupaya justru semakin sulit bagi mereka untuk bertahan.
BACA JUGA:Sekeluarga di Kota Malang Diduga Bunuh Diri, Tinggalkan Wasiat untuk Anak
"Sebelum seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidup, seringkali mereka memberikan sinyal bahwa kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja. Kondisi ini erat dikaitkan dengan berbagai gangguan mental seperti misalnya, stres dan depresi," terang Nurul Qomariah, Rabu, 13 Desember 2023.
Oleh sebab itu, lanjut Rya sapaan karib Nurul Qomariah, sebagai masyarakat perlu peka dan menunjukkan empati pada sesama. Yang paling mudah dilakukan adalah mengendalikan ucapan dan jari-jemari untuk tidak berkomentar negatif.
"Saat ada orang yang menyampaikan kesulitan kepada kita hendaknya kita mendengarkan terlebih dulu. Jika tidak bisa membantu, maka hubungkan dengan pihak-pihak yang bisa membantu," saran Rya.
Rya tak memungkiri bahwa mengakhiri hidup atau bunuh diri bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan. Kendati demikian, bukan berarti masyarakat bebas melabeli pelaku bunuh diri dengan berbagai stigma.
BACA JUGA:Cegah Aksi Bunuh Diri, Masyarakat Perlu Peka dan Mengenal Prinsip Psychological First Aid
Terlebih stigma yang sering muncul di masyarakat adalah menganggap orang yang mengakhiri hidupnya adalah orang yang bodoh, tidak beriman, tidak dekat dengan Tuhan, tidak pandai bersyukur, dan orang yang lemah.
"Orang yang mengakhiri hidup sebetulnya tidak benar-benar ingin mati. Hanya saja ia kesulitan menemukan jalan keluar. Tentu hal ini bukan pembenaran atas tindakan mereka. Sebab, mengakhiri hidup memang tidak bisa dibenarkan dari sisi manapun," jelasnya.
Lebih lanjut Rya memaparkan, untuk mencegah terjadinya tindakan bunuh diri dapat dimulai dari sendiri. Menyadari bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan serta kerumitannya masing-masing membuat individu tidak mudah melabeli orang lain.
"Perlu bagi diri sendiri untuk menyadari batasan diri dan bergerak mencari bantuan jika membutuhkan. Misalnya, dengan mengunjungi profesional seperti dokter, psikolog maupun psikiater. Dan itu bukanlah aib," bebernya.
BACA JUGA:Toxic Relationship, Ancaman Bunuh Diri, dan Impikasi Hukum: Mengurai Kepentingan dan Perlindungan
"Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui nomor-nomor darurat yang bisa dihubungi dalam kondisi mendesak seperti Call Center 112, Layanan Sejiwa 119 ext 8 atau menghubungkan ke puskesmas terdekat," sambung perempuan berhijab ini.
Sementara itu, dalam kasus bunuh diri keluarga di Malang yang menewaskan seorang ayah berinisial W (38), ibu rumah tangga berinisial S (35), dan salah satu anaknya berinisial ARE (13) itu ternyata meninggalkan sebuah surat wasiat.
Di dalam surat tersebut tertulis: Kakak Jaga Diri. Papa, Mama, Adik pergi dulu. Nurut Uti, Kung, Tante dan Om. Belajar yang Baik. Uang Papa Mama untuk pemakaman jadi satu. love you kakak (Papa).
Diketahui, surat wasiat tersebut ditunjukkan untuk salah satu anaknya yang masih hidup yakni, AKE (13). Dalam keluarga tersebut ARE dan AKE merupakan saudara kembar.(bin)
Sumber: