Cinta pada Pandangan Pertama Mengalahkan Segalanya (5)

Cinta pada Pandangan Pertama Mengalahkan Segalanya (5)

Menerima Kekurangan Masing-Masing, SSW Menikah Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Gerimis turun. Kami melanjutkan jagongan di penginapan pasutri ini bersama kedua anaknya. Waskito kembali berkisah bahwa dalam suratnya, Tutik berterus terang ingin tetap bersahabat meskipun tahu kondisi fisik pemuda tersebut. Sampai di sini, hati Waskito berbunga. Ia meneruskan membaca surat Tutik. Di bawah harapan ingin bisa tetap bersahabat dengan Waskito, Tutik menjelaskan kondisi dirinya sendiri yang tidak lebih baik dari sahabatnya itu. Tutik mengaku dirinya pun memiliki keterbatasan. “Secara fisik aku memang terlihat sempurna, Sahabat. Tapi jangan salah. Aku juga menyimpan kenyataan pahit yang sengaja aku simpan. Sebab, aku takut Kau akan enggan bersahabat denganku setelah mengetahui kekuranganku,” tulis Tutik. Sampai di sini Maskito sengaja berhenti membaca. Dia hirup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskan perlahan-lahan. Dalam hati dia sempat bertanya, “Apa kekurangan Tutik? Dia terlihat sempurna saat berdiri dan berlari.” Setelah  menata hati, Waskito melanjutkan membaca surat sahabat penanya, “Aku sama sepertimu, Sahabat. Aku dikaruniai keistimewaan kekurangsempurnaan mendengar dan berbicara.” Tutik mengakui bahwa kondisi dirinya mungkin lebih tidak menguntungkan dari Waskito. Karena itu, meski berharap ingin tetap terus bersahabat, di sisi lain Tutik menyerahkan masa depan persahabatannya vs Waskito kepada pemuda tersebut. “Kalau Engkau ingin memutuskan persahabatan kita karena kondisiku, aku sadar dan akan menerima,” kata Waskito membacakan surat Tutik. Surat itu diambil dari tas kulit lawas yang tidak pernah lepas ke mana pun pemiliknya pergi. Waskito menangis. Hal ajaib pertama yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Waskito menambahkan bahwa selama hidup dia hanya menangis empat kali. Pertama, ketika membaca surat Tutik yang ini. Kedua, saat mengucapkan ijab kabul pernikahan vs Tutik. Yang ketiga dan keempat, saat kematian ibu dan bapaknya Surat-menyurat tak pernah berhenti. Persahabatan tak pernah putus. Bahkan terus meningkat seiring perjalanan waktu. Seiring berkembangan kedewasaan kedua sahabat ini. Mereka berikrar menjadi sepasang kekasih, lantas mengikat janji suci kesetiaan dalam wadah mahligai rumah tangga. “Semua kami lakukan SSW, set-set-wet, ketika masih duduk di bangku kuliah,” kata Waskito. Waktu itu kami menikmati udara sejuk lereng Welirang di teras penginapan. Tak lama kemudian Tutik muncul. Membawa sepoci teh dan sepiring ubi rebus. “O’o,” ujarnya ramah. Waskito dan Tutik lulus UGM dua tahun setelah menikah. “Selama kuliah, kami memang sudah mandiri. Aku ikut teman-teman mengisi acara-acara musik di kafe-kafe, hotel-hotel, dan wedding-wedding,” kata Waskito, yang menambahkan bahwa Tutik menerjuni bisnis kuliner dan tata rias pengantin. (habis)  

Sumber: