Waspada! 74 Kabupaten dan Kota Rawan Pangan
Para pakar memaparkan data dalam workshop yang berlangsung hangat.--
Para kades ini sepakat menjaga wilayahnya supaya tidak terjadi lagi alih fungsi lahan irigasi teknis. “Supaya ketahanan pangan berkelanjutan, maka harus ada komitmen terhadap ketahanan pangan,” sambung Prof Sanggar.
Menyinggung kedaulatan pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan, Prof Yogi Sugito memiliki pandangan yang lebih tegas. “Jangan hanya ramai-ramai bicara capres dan cawapres saja, itu hentikan alih fungsi lahan di desa-desa sekarang juga. Saya prihatin karena pemerintah daerah jalan sendiri-sendiri. Saya minta yang di pusat, fokus mengatasi masalah lahan marginal kritis, misalnya dengan melakukan gerakan diversifikasi pangan dan melestarikan sumber daya air di desa-desa,” paparnya.
Deputi II Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional Kementerian Pertanian RI Dr Drs Nyoto Suwidnyo MM mengatakan kondisi yang memprihatinkan. “Kita benar-benar mengalami krisis pangan, karena sekarang ini ada 74 kabupaten/ kota atau 14 persen mengalami rawan pangan,” ungkapnya.
Senada, Ketua SDGs Center UB Dr Muzakki MSi sebagai fasilitator acara menggarisbawahi pernyataan Direktur Sumberdaya Air Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI Ewin Sopian Winata. “Dari 300 bendungan yang ada di negeri ini hanya mengcover 12 persen saja di area irigasi. Gak bahaya tha?,” katanya seraya menegaskan kondisi rawan tersebut.
Akibatnya, terjadi defisit air. Padahal, 80 persen air irigasi tersebut untuk pertanian dalam rangka menjamin ketahanan pangan.
Dalam kondisi itu, Nyoto prihatin karena para petani tidak bisa berbuat banyak mengatasi masalah ini. Sebab 16 juta orang merupakan petani bermodal kecil dan berpendidikan setingkat SD.
“Untuk mengatasi masalah ini, mari UB beserta seluruh pemangku kepentingan bekerjasama melakukan pendidikan, pemberdayaan, dan pendampingan kepada para petani di Indonesia,” katanya.
Peliknya lagi, menurutnya dalam situasi krisis itu masyarakat kota terlalu konsumtif yang diukur dari 1/3 sampah adalah sisa makanan. Ini terjadi kesenjangan nasional, karena jumlah konsumsi lebih banyak daripada jumlah produksi pangan. Akibatnya terjadi kerawanan pangan. “Untuk mengatasi itu, mari kita bergerak bersama untuk menukseskan program Badan Pangan Nasional yaitu stop boros pangan,” harapnya.
Workshop yang dibuka oleh Wakil Rektor III UB Dr Setiawan Noerdajasakti SH MH ini mendukung tercapainya tujuan SDGs ke-1 (tanpa kemiskinan), tujuan SDGs ke-2 (tanpa kelaparan), tujuan SDGs ke-3 (kehidupan sehat dan sejahtera), serta keseimbangan ekosistem darat dan lautan dalam rangka menghadap perubahan iklim global. (*/ari)
Sumber: