Tilang Elektronik, Ya Nasib Ya Nasib
Oleh: Arief Sosiawan Pemred Memorandum Tilang elektronik resmi mulai diterapkan di Surabaya. Itulah berita terbaru dan paling update yang muncul pada awal tahun ini. Berita itu viral di masyarakat. Muncul di grup-grup WhatsApp (WA). Nongol d facebook. Di media sosial bahkan terus-menerus muncul menghentak di tengah keheningan warga yang sedang euforia menyambut tahun baru. Tak ayal berita itu mengundang banyak ragam komentar. Inti berita yang berisikan pemberlakuan aturan baru dalam berkendara di wilayah hukum Kota Pahlawan itu seakan membangunkan impian Surabaya sebagai kota modern. Ada warga yang setuju. Ada pula yang tidak. Yang setuju pasti memiliki alasan kuat. Begitu pula yang tidak setuju. Lepas dari fakta tersebut, aturan tetaplah aturan. Yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Yang setuju pasti memuji langkah jitu keluarnya aturan itu. Minimal mereka mengatakan aturan itu memberikan edukasi agar masyarakat mampu berperilaku sopan, tertib berlalu lintas dalam berkendara di jalanan Kota Surabaya, hingga mampu memberi rasa aman, nyaman terhadap masyarakat lain pengguna fasilitas umum jalan raya. Mereka pasti juga menilai pemberlakuan aturan baru berupa berkendara harus tidak melanggar markah jalan, bermobil harus memasang safety belt, berkendara tidak boleh menelepon, dan lain sebagainya itu (kalau semua itu dilanggar akan ditilang), adalah langkah taktis untuk mengurangi insiden kecelakaan di kota berlambang suro dan boyo yang faktanya tidak pernah surut dari hari ke hari. Alhasil, pemberlakuan aturan baru itu disambut dengan acungan jempol. Bahkan didukung “seribu persen”. Tapi bagi mereka yang tidak setuju, boleh jadi aturan baru yang diberlakukan itu dinilai sebagai bentuk pengekangan kebebasan warga yang selama ini dinikmatinya. Bisa-bisa, mereka juga menilai kemunculan aturan baru itu sebuah bukti kegagalan aparat hukum memberi rasa aman dan nyaman warga. Penilaian lain, bisa pula karena kegagalan aparat mengedukasi warga tentang peraturan lalu lintas yang selama ini digunakan di negara ini. Lebih tajam lagi, mereka (yang tidak setuju) menilai pemberlakuan aturan baru ini ujung-ujungnya hanyalah untuk menyedot rupiah warga hingga mereka harus terbebani kala makin sulitnya mencari penghasilan di tengah perekonomian nasional yang terpuruk. Wajarkah mereka yang tidak setuju berpikir seperti itu? Jawabannya bergantung kita sendiri. Faktanya, kala aturan baru diberlakukan, fasilitas jalan raya yang bisa memberi rasa aman dan nyaman berkendara di kota ini masih sangat kurang. Fakta lain, masih tak terhitung jumlah kemacetan yang ada di kota ini akibat lemahnya regulasi tentang kendaraan yang laik jalan. Masih banyak pula jalan yang kerap membuat warga mengeluh ketika melintas. Ada markah dan rambu-rabu lalu lintas yang tidak terawat dengan baik.(*)
Sumber: