Kawin Muda, Rumah Tangga Tak Pernah Tenteram (8-habis)

Kawin Muda, Rumah Tangga Tak Pernah Tenteram (8-habis)

Winih baru menyadari apa yang terjadi pada diri dan keluarganya ketika pada suatu hari dokter menyatakan anak semata wayangnya Funga mengidap kanker getah bening. Pada waktu hampir bersamaan, polisi muncul di rumah dan mengabarkan Jostro ditangkap karena terlibat peredaran narkoba. Kedua peristiwa itu terjadi pada waktu yang hampir bersamaan. Mendadak suasana menjadi gelap. Tidak ada secuil pun cahaya. Bumi laksana diputar bukan pada porosnya. “Aku merasakan kiamat. Sebab, bersamaan dengan kejadian-kejadian itu, orang yang selama ini mampu menjadi penyulus mendadak hilang entah ke mana,” keluh Winih. Tidak bisa dihindari, Winih harus pontang-panting ke kantor polisi untuk diperiksa terkait penangkapan Jostro. Ini sangat menyita energi, dana, dan fokus perhatian yang tidak ringan. “Keadaan anak yang sempat aku telantarkan sangat memprihatinkan. Sungguh aku menyesal telah abai darinya. Dia sangat cantik. Dia sangat manja. Dia sangat membutuhkan aku. Tapi di saat seperti ini, apa yang bisa aku lakukan?” Nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan masih terus berjalan. “Aku terpaksa kerja demi kelangsungan hidup kami. Aku dan anakku,” kata Winih. “Jostro bagaimana?” sela Memorandum. “Dia masih di dalam. Sudah tidak bisa diharapkan. Makanya aku minta tolong pengacara untuk mengurus proses perceraian dengan suami,” kata Winih. “Apakah Jostro tidak tahu hubungan Mbak Winih dengan Gembes?” Tidak ada jawaban. Cukup lama. Hanya ada bunyi gemerisik dan sekali-sekali deru kendaraan bermotor. “Tidak. Aku berharap dia tidak pernah tahu,” kata Winih pada akhirnya. Tidak mudah bagi Winih untuk mencari pekerjaan. Selain ijazahnya yang hanya SMA, keberadaan anak cukup menghambat. Apalagi, kondisi kesehatannya semakin hari semakin tidak baik. Akhirnya Winih memutuskan memilih pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Dan, pilihan itu tidak banyak. Buruh cuci dan seterika, hanya itu yang bisa dikerjakan. “Akhirnya aku memberanikan diri menawarkan tenagaku ke para tetangga.” Mungkin karena kasihan terhadap kondisi Winih dan keluarganya, terutama si anak, banyak tetangga yang menyambut baik tawaran Winih. Padahal, mereka harus rela saling menunggu karena tenaga Winih sangat terbatas. Untungnya si anak seperti memahami keadaan ibunya. Setiap merasakan sakit dan menangis, sentuhan Winih selalu bisa mengantarkan bocah itu ke alam mimpi. “Setiap menangis dan menjerit kesakitan, dia selalu dapat kutidurkan dengan elusan di tubuh dan ciuman di wajah. Ajaib, memang, tapi alhamdulillah,” puji Winih. (jos, habis)  

Sumber: