Albert Kuhon: Harus Ada Jaminan Kepastian Hukum bagi Masyarakat
Surabaya, memorandum.co.id- Koalisi mafia tanah begitu luar biasa dan terskema dengan baik. Karena di dalamnya terdapat beberapa aspek. Antara lain, perencana, LSM, oknum penegak hukum, eksekutor, pemodal juga aparat sipil juga pendukung lain. Terskemanya koalisi mafia tanah ini diungkap praktisi hukum Dr Ir Albert Kuhon MS SH, dalam diskusi dengan media terkait maraknya kasus mafia tanah, Selasa (22/8/2023). Karena itu, Albert-sapaan karibnya-mengajak awak media bersama-sama mengawal kepastian hukum. “Jaminan kepastian hukum harus kita kawal bersama-sama. Karena, tanpa jaminan kepastian hukum, masyarakat yang menjadi korban,” ungkapnya. Banyaknya kasus yang melibatkan dugaan mafia tanah sebagai aktor di balik persoalanan tanah yang ada di Indonesia, khususnya di Surabaya, menurut Albert patut mendapatkan perhatian tersendiri. “Jangan sampai, warga yang sudah memegang sertifikat tanah tidak mendapatkan haknya. Ini kan menjadi lucu. Karena banyak kasus di mana suatu pemilih tanah mempunyai sertifikat tapi masih bisa dicaplok pihak lain,” bebernya. Sebelumnya, Albert Kuhon mewakili pihak Widowati yang membeli lahan seluas 6.850 m persegi. Lahan itu dibeli dari PT Darmo Permai dan merupakan bagian atau pecahan dari hamparan yang berasal dari sertifikat induk dengan nomenklatur ‘Pradahkalikendal’. Di sebelah lahan Widowati adalah tanah milik Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS) di Surabaya, memiliki tanah seluas sekitar 3.150 m persegi yang terbagi dalam empat sertifikat hak guna bangunan (HGB). Letaknya di Kelurahan Lontar dan dibeli dari pengembang PT Darmo Permai sekitar 25 tahun silam. Kedua pihak menguasai lahan yang keseluruhannya sekitar 1 hektare tersebut secara fisik, terhitung sejak saat pembelian. Tapi tiba-tiba, muncul Mulya Hadi dkk yang mengaku ahli waris dari Randim P. Warsiah, yang disebutkan dulunya pemilik tanah tersebut. Mereka tahun 2021 menggugat Yayasan CHHS dan tetangganya di Pengadilan Negeri Surabaya melalui dua perkara yang berbeda. Persidangan gugatan terhadap yayasan berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya tahun 2021 selama kurang dari sebulan. Mulya Hadi dkk mengajukan bukti-bukti antara lain berupa keterangan pemilikan lahan, keterangan penguasaan fisik dan keterangan lainnya yang diketahui Lurah Lontar. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang diketuai Itong Isnaeni Hidayat pertengahan Mei 2021 memutus Yayasan CHHS melakukan perbuatan melawan hukum dan Mulya Hadi dkk adalah pemilik sah atas lahan tersebut. Tahun 2021, lahan milik yayasan sudah dieksekusi dan diduduki oleh pihak Mulya Hadi dkk. Pihak Yayasan CHHS mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Mahkamah Agung dalam putusan No 1131 PK/PDT/2022 tertanggal 30 November 2022, menyatakan mengabulkan permohonan peninjauan kembali pihak Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS) Surabaya menyatakan yayasan itu adalah pemilik lahan yang sah. Perkara lahan yayasan CHHS itu diadili oleh majelis yang diketuai oleh Hakim Agung Maria Anna Samiyati SH MH. Lahan milik Widowati yang terletak bersebelahan dengan lahan yayasan, sangat identik dengan perkara Yayasan CHHS. Penggugatnya juga sama. Ketua majelis hakim agung yang mengadili perkara lahan seluas 6.835 m persegi itu juga sama dengan ketua majelis hakim agung yang mengadili perkara kasasi lahan milik yayasan. Menurut penelusuran, pihak yayasan CHHS yang sudah memenangkan kembali lahannya di tingkat kasasi, ternyata tidak bisa mengambil kembali haknya. Affrik Priyono yang mengaku sebagai pemilik baru lahan tersebut, tanggal 23 Feb 2023 mendaftarkan perkara 223/Pdt.G/2023/PN Sby di Pengadilan Negeri Surabaya, menggugat Yayasan Cahaya Hidup Sejahtera (CHHS) melakukan perbuatan melawan hukum. “Entah bagaimana putusannya, katanya masih dalam proses minutasi,” kata sumber. Nyatanya, Affrik Priyono tanggal 17 Maret 2023 mendaftarkan kembali perkara No 306/Pdt.G/2023/PN Sby di Pengadilan Negeri Surabaya, menggugat Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS) melakukan perbuatan melawan hukum. Sebagian besar hamparan lahan yang dikumpulkan PT Darmo Permai berada di wilayah Kelurahan Pradahkalikendal, sehingga sertifikat induknya berkode ‘Pradahkalikendal’. Setelah dijual dan dilakukan pemecahan, semua sertifikat turunannya juga berkode ‘Pradahkalikendal’, sesuai dengan nomenklatur sertifikat induknya. Padahal, letak lahan pecahan itu belum tentu di Kelurahan Pradahkalikendal. Dalam proses perpanjangan, barulah nama ‘Pradahkalikendal’ diubah sesuai dengan nama kelurahan yang menjadi lokasi lahan. Mulya Hadi mengaku sebagai ahli waris Randim P. Warsiah yang menjadi pemilik tanah 10.000 m persegi di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya. Katanya, kepemilikannya tercantum dalam Petok D No 14345 Persil 186 d-II (yang dipecah menjadi dua bagian yakni 3.150 m persegi dan 6.850 m persegi). Tanah itu diperoleh dari jual beli tanggal 22 Mei 1957 dari Petok D No. 256 Persil 65 klas d.II seluas sekitar 10.000 m2 atas nama Mat Rais P. Sarnawi. Kata Mulya Hadi, hak kepemilikan tanah Randim P. Warsiah tercatat dalam Buku Leter C Desa Lontar Klasiran tahun 1960. Mulya Hadi mewakili keluarganya, 1 April 2021 mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Negeri Surabaya. Dia menggugat kepemilikan tanah Yayasan CHHS dengan Kepala Kantor Pertanahan Surabaya 1 sebagai turut tergugat. Sidang gugatan Mulya Hadi dimulai 13 April 2021 dan putusannya dibacakan Selasa 11 Mei 2021. Pihak yayasan tidak hadir karena tahu ada panggilan sidang. Mulya Hadi menuding empat lahan bersertifikat HGB yang dikuasai Yayasan CHHS merupakan satu kesatuan dan minta Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan sertifikat HGB milik Yayasan CHHS terbit secara salah lokasi dan melanggar hukum. Penggugat mengaku tidak pernah menjual tanah Petok D No. 805 Persil 65 Klas D.II seluas ± 10.000 m persegi, baik sebagian maupun keseluruhan. Majelis hakim pengadilan negeri yang diketuai Itong Isnaeni Hidayat SH MH (dengan dibantu Panitera Hamdan) mengabulkan gugatan Mulya Hadi dan menyatakan Yayasan CHHS melangar hukum dan harus membayar ganti rugi Rp 1 milyar. Tanah milik yayasan itu diambilalih dan diduduki oleh pihak Mulya Hadi segera setelah putusan Pengadilan Negeri Surabaya terbit. Belakangan pihak Yayasan CHHS mengajukan Peninjauan Kembali (tertanggal 9 September 2022) atas putusan No 346/Pdt.G/2021/PN.Sby. Perkara peninjauan kembali diputus oleh majelis yang dipimpin Maria Anna Samiyati SH MH Rabu 30 November 2022. Isi putusan PK 1131/PK/Pdt/2022 membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya dan mengabulkan permintaan Yayasan CHHS mengenai keabsahan hak kepemilikan tanah, menyatakan yayasan tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan mengembalikan tanah kepada yayasan. Dengan dalil dan bukti-bukti serupa, Mulya Hadi juga menggugat pemilik lahan di sebelah Yayasan CHHS. Jumlah luas keseluruhan kedua lahan itu memang sekitar 10.000 m persegi, identik dengan luas lahan yang diklaim Mulya Hadi. Sejatinya, ketika kedua gugatan itu disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya, Mulya Hadi tidak pernah menguasai secara fisik objek sengketa. Sejak Maret 2022, Mulya Hadi dkk diadukan di Bareskrim Polri dengan dugaan pemalsuan surat dan menyuruh orang memberi keterangan palsu. Gelar perkara mengenai penanganan pengaduan itu sudah dilakukan pertengahan September 2022. (yy/ono)
Sumber: