Perkawinan yang Tabrak Hitungan Weton dan Neptu (3)
Suatu saat Yanto lupa menyimpan kartu keluarga (KK) yang baru difotokopi untuk keperluan pendataan daftar pemilih Pemilu 2024. Celakanya, yang menemukan adalah Kasto. Lelaki sepuh tersebut sempat geleng-geleng ketika memperhatikan angka-angka di KK tadi. Tiba-tiba wajah dan matanya memerah. Marah. Dia lantas memanggil sang menantu, Yanto. Persoalan menjadi besar ketika suatu saat Yanto dipanggil Kasto membicarakan masalah ini. Pak Kasto mengaku sudah meng-utek-utek hal ini dan tidak menemukan solusi baik. Pria berewokan tersebut marah besar kepada Yanto. “Jadi selama ini kamu bohong ya kepada Bapak?” sembur Kasto. Yanto diam. Merasa bersalah. Selanjutnya dia berusaha tidak mendengar apa pun yang dikatakan Kasto. Entah berapa lama lelaki yang seluruh rambutnya sudah memutih itu ngomel. “Andai dulu kamu berterus terang sejak awal, Bapak masih bisa mencarikan solusi dengan memilih hari perkawinan yang tepat. Tapi kini sudah terlambat. Hari perkawinan kalian memperparah ketidakberuntungan kalian,” kata Kasto seperti ditirukan Yanto. “Tidak adakah solusi lain, Pak?” tanya Yanto. Memberanikan diri. “Sebenarnya ada. Ruwat, misalnya. Tapi sudah Bapak hitung, hasilnya tidak bisa memberi banyak pengaruh positif. Sebagai ayah Marni, saya menyarankan kalian segera bercerai saja,” kata Kasto. Pelan namun menyakitkan. “Tidak ada solusi lain. Daripada kalian, terutama anak saya hidup menderita, saya menekankan: lebih baik kalian cerai. Mumpung kalian belum punya anak,” imbuh Kasto. Terdengar lirih, tapi memanaskan dada Yanto. “Saya minta waktu untuk memikirkannya,” kata Yanto tanpa memandang sang ayah mertua. Hatinya kacau. “Apa lagi yang kamu pikir. Memangnya bisa kamu mikir dan tiba-tiba semua menjadi baik-baik saja,” kata Kasto sambil berdiri dari duduknya dan berjalan menjauh. Yanto semakin kebingungan. Ia mencoba minta pertimbangan ayahnya. “Ayah hanya punya satu saran. Pindah dari rumah mertuamu. Hidup sendiri bersama Marni. Apa pun yang terjadi, pikirkan dan perjuangkan bersama masa depan kalian,” kata ayahnya. Yanto tambah bingung. Tanpa kesadaran penuh dia menuju PA. Berniat menemui pengacara yang biasa berpraktik di PA, yang bisa diajak berkonsultasi. Paling tidak bisa memberikan gambaran atas persoalan yang dia hadapi. Tiba-tiba seorang lelaki berusia 35-an mendekati kami. Ia menyapa Yanto dengan akrab. “Diancuk laopo koen nang kene?” tanya lelaki tadi, sebut saja Udin, sambil memukul dan menepuk-nepuk pundak Yanto. (jos, bersambung)
Sumber: