Ibadah Haji di Masa Rasulullah SAW, Kembalinya Kemurnian Ibadah Haji sesuai Tuntunan Allah SWT

Ibadah Haji di Masa Rasulullah SAW, Kembalinya Kemurnian Ibadah Haji sesuai Tuntunan Allah SWT

memorandum.co.id - Pada periode tokoh Mekkah ‘Ammarbin Luha, ibadah haji mulai terkotori dengan kahadiran patung dan berhala. Tokoh ‘Ammar bin Luhay merupakan orang yang pertama kali menyebarkan ajaran menyembah berhala di seluruh Jazirah Arab. Keadaan menyedihkan ini berlangsung selama kurang lebih dua ribu tahun. Haji dan Umrah Zaman Rasulullah SAW Tetapi setelah periode panjang itu, terjawablah doa Nabi Ibrahim as yang tercantum dalam Al-Qur’an : “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rosul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Albaqarah : 129) Nabi Muhammad tidak hanya membersihkan Ka’bah dari segala kotoran, tetapi juga mengembalikan kemurnian ibadah haji sesuai tuntunan Allah sejak jaman Nabi Ibrahim AS. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai jawaban atas doa Nabi Ibrahim AS tersebut. Selama 23 tahun Nabi Muhammad SAW menyebarkan pesan Tauhid, pesan yang sama seperti yang dibawa Nabi Ibrahim AS dan semua Nabi pendahulunya, untuk menegakkan hukum Allah dimuka bumi. Terdapat perintah khusus dalam Al Qur’an yang diturunkan dalam rangka menghilangkan semua upacara palsu yang telah merajalela pada masa sebelum Islam. Semua tindakan tidak senonoh dan memalukan itu sangat dilarang sebagaimana dalam pernyatan Allah dalam Al Qur’an : “Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak diperbolehkan rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al Baqarah : 197) Rasululloh SAW memerintahkan para sahabat yang mampu terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim AS. Mereka tidak mengerjakan amalan-amalan yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari haji, kaum Anshar melapor kepada Rasululloh SAW bahwa mereka mengerjakan sa’i dengan keraguan. Ditengah mas’a (jalur sa’i) antara Shafa dan Marwa terdapat dua berhala besar Asaf dan Na’ilah. Oleh karena itu turunlah wahyu Allah SWT yaitu : ” Sesungguhnya Shafa dan Marwa itu sebagian dari syiar-syiar Allah. maka barangsiapa berhaji ke baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah baginya untuk bolak balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Al Baqarah : 158) Ayat inilah yang akan sering dibaca oleh para jamaah haji ketika melakukan sa’i. Pada bulan April 628 M (Dzulkaidah 6 H) Rasululloh bermimpi menunaikan umrah ke Mekkah. Beliau mengajak para shahabat untuk mewujudkan mimpi tersebut. Rasululloh dengan disertai 1.500 shahabat berangkat menuju Mekkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan kurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalangi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyyah, 20 km disebelah barat laut Mekkah.

  • Hudaibiyyah
Kaum Quraisy mengutus Suhail Ibn Amr untuk berunding dengan Rasululloh. Suhail mengusulkan antara lain kesepakatan genjatan senjata dan kaum muslimin harus menunda Umrah dengan kembali ke Madinah. Tetapi tahun depan akan diberikan kebebasan melakukan Umrah dan tinggal selama 3 hari di Mekkah. Rasululloh SAW menyetujui perjanjian ini meskipun para shahabat banyak yang kecewa. Secara singkat isi perjanjian tersebut kelihatannya merugikan kaum muslimin, tetapi sesungguhnya secara politis sangat menguntungkan bagi kaum muslimin.
  • Masjid Hudaibiyyah
Perjanjian Hudaibiyyah merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam karena untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Mekkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah sebagai berikut : “Sungguh Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebenar-benarnya. , bahwa kamu akan memasuki Masjidil Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (menyelesaikan umroh) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kau ketahui dan DIA menjadikan selain itu sebagai kemenangan yang dekat.” (QS Al Fath : 27) Sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 Masehi atau Zulkaidah 7 Hijriyah) Rasullah Saw. beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Rosulullah Saw yang berjumlah sekitar 2.000 orang memasuki pelataran Ka’bah untuk melakukan tawaf, orang-orang Mekkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah Saw bersabda kepada para jamaahnya, “Marilah kitatunjukan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan tawaf sambil berlari!”
  • Hajar Aswad
Sesudah mencium hajar Aswad, Rasulullah Saw, dan para sahabat memulai tawaf dengan berlari-lari mengelilingi Ka’bah sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat setelah orang-orang usil diatas bukit Qubai pergi, Rasulullah mengajak para sahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunah tawaf di kemudian hari : bahu kanan yang terbuka (idhthiba’) serta berlari-lari kecil pada tigaputaran pertamakhusus pada tawaf yang pertama.
  • Maqam Ibrahim
Selesai tujuh putaran, Rasulullah Saw, Shalat dua rakaat di Makom Ibrahim, kemudian minum air Zamzam dan akhirnya melakukan tahalul (menghalalkan kembali) atau membebaskan diri dari larangan-larangan ihram , dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Ketika masuk waktu dzuhur, Rasulullah Saw menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan azan. Suara adzan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang-orang Mekkah berkumpul kearah “suara aneh” yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum Musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Zulkaidah 7 hijriyah (17 Maret 629M), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Mekkah dan Nabi Muhammad Saw. menjadi imam shalat di depan Ka’bah. Sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyyah, Rasululloh SAW dan para shahabat yang hanya tiga hari berada di Mekkah, kembali ke Madinah. Tetapi Umrah tiga hari yang dilakukan kaum Muslimin di Mekkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy yaitu Khalid Bin Walid, Amru Bin Ash dan Utsman Bin Thalhah, menyusul ke Madinah untuk mengucapkan kalimat syahadat. Di kemudian hari pada masa Kekhalifahan Umar Bin Khattab RA (634 – 644 M), Khalid Bin Walid RA memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina, serta Amru Bin Ash RA membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi. Utsman Bin Thalhah RA dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasululloh untuk memegang kunci Ka’bah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka’bah berganti hingga Dinasti Saudi sekarang, kunci Ka’bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman Ibn Thalhah RA dari Bani Syaibah. Beberapa bulan sesudah Rasulullah SAW umrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian gencatan senjata sehingga pada 20 Ramadhan 8 H (11 Januari 630 M) Rasululloh beserta sekitar 10.000 pasukan menaklukan Mekkah tanpa ada pertumpahan darah. Bahkan, Rasululloh memberikan amnesti kepada warga Mekkah yang dahulu memusuhi Muslimin. “Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang diantara para penyayang“, demikian sabda Rasululloh SAW mengutip ucapan Nabi Yusuf AS yang tercantum dalam Surat Yusuf ayat 92. Akibatnya, seluruh kaum Quraisy masuk Islam. Kemudian turunlah Surat An Nashr : “Tatkala datang peretolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kedalam agama Allah berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan memohon apunlah kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat”. (QS An Nashr : 1-3) Dengan jatuhnya kota Mekkah ke tangan Ummat Islam, kemudian Rasululloh SAW memerintahkan pemusnahan berhala-berhala disekeliling Ka’bah, dan membersihkan Ibadah Haji dari unsur-unsur kemusyrikan serta mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8 H, Rasululloh SAW melakukan Umroh 2 kali yaitu ketika menaklukan Mekkah serta ketika beliau pulang dari perang Hunain. Ditambah dengan umroh pada tahun sebelumnya berarti Rasululloh sempat melakukan Umroh 3 kali sebelum beliau mengerjakan ibadah Haji pada tahun 10 H. Pada bulan Dzulhijjah 9 H (Maret 631 M) Rasululloh mengutus shahabat Abu Bakar Ash Shiddiq untuk memimpin Ibadah Haji. Rasululloh sendiri tidak ikut karena beliau sibuk dalam menghadapi perang Tabuk melawan Pasukan Romawi. Abu Bakar Ash Siddiq mendapatkan perintah untuk mengumumkan Dekrit yang baru saja diterima oleh Rasuluuloh SAW. Dekrit tersebut menyatakan bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjidil Haram dan menunaikan ibadah haji karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran nabi Ibrahim AS. Dekrit tersebut dikeluarkan Rasululloh berdasarkan firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa) karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang) maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS At Taubah : 28)
  • Haji Wada' Rasulullah SAW
Pada tahun 10 H (632 M) Semenanjung Arabia telah dipersatukan dibawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW yang berpusat di Madinah dan seluruh penduduknya telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawal Rasululloh mengumumkan bahwa beliau sendiri yang akan memimpin Ibadah Haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh ummat dari segala penjuru. Sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasululloh dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji.
  • Masjid Birr ‘Ali Dzul Hulaifah
Rasululloh SAW berangkat dari Madinah sesudah shalat Jum’at tanggal 25 Dzulkaidah (21 Februari) mengendarai unta beliau yang bernama Al Qashwa dengan diikuti sekitar 30.000 jamaah. Seluruh istri beliau ikut serta dan juga putri beliau yang saat itu masih hidup yaitu Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah (Birr ‘Aliy) yang berjarak belasan kilometer dari Madinah , Rasululloh dan rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Disini Istri Abu Bakar Ash Shiddiq melahirkan putra yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah. Tetapi Rasululloh SAW mengatakan bahwa istri Abu Bakar cukup mandi bersuci, memakai pembalut yang rapi dan dapat melakukan seluruh manasik Haji. Muhammad Bin Abu Bakar RA yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali Bin Abi Thallib RA (656 – 661 M). Keesokan harinya, Sabtu 26 Dzulkaidah (22 Februari) setelah semuanya siap untuk berihram, Rasululloh SAW menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jamaah mengucapkan niat haji : Labbaika Allahumma Hajjan. Tidak ada seorangpun yang berniat umroh sebab menurut tradisi saat itu umroh hanya dibolehkan diluar musim haji. Tiga cara haji yaitu Tamattu’, Ifrad dan Qiran) yang kita kenal sekarang baru diterapkan Rasulullah di Mekkah 8 hari berikutnya. Rombongan menuju Mekkah dengan tiada henti mengucapkan Talbiyah. Pada hari Sabtu 3 Dzulhijjah (29 Februari) Rasulullah dan rombongan tiba di Sarif, 15 km utara Mekkah dan beristirahat. Aisyah RA istri Nabi kedatangan masa haidnya sehingga dia menangis karena khawatir tidak bisa menunaikan ibadah haji. Rasulullah SAW menghiburnya, “Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali tawwaf sampai engkau suci.” Pada Ahad 4 Dzulhijjah (1 Maret) pagi, Rasululloh dan rombongan memasuki kota Mekkah. Disana sudah menunggu puluhan ribu ummat yang datang dari berbagai penjuru dan diperkirakan total jamaah haji yang datang waktu itu mencapai lebih dari 100.000 jamaah. Rasululloh memasuki Masjidil Haram melalui gerbang Banu Syaibah yang terletak disamping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Gerbang Banu Syaibah ini kelak dikemudian hari populer dengan nama Baabussalam (Gerbang Kedamaian).
  • Ka'bah lama
Perlu diketahui bahwa yang disebut Masjidil Haram pada waktu itu adalah pelataran Ka’bah tempat shalat dan tawwaf. Sedangkan bangunan masjid baru dirintis pada masa Khalifah Umar Bin Khattab RA (634 – 644 M) dan mengalami perluasaan dari zaman ke zaman sehingga akhirnya megah seperti sekarang. Juga perlu diketahui bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan harus masuk Masjidil Haram dari gerbang banu Syaibah atau Baabussalam. Rasulullah masuk melalui pintu itu karena beliau datang dari arah utara. Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjidil Haram diperluas sehingga tempat Sa’i termasuk Shafa dan Marwa menjadi bagian Masjid. Kemudian pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu diantaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu baabussalam. Beberapa Manasik Haji Rasulullah SAW Pada awal setiap putaran tawwaf, Jamaah haji/umroh disunnahkan untuk memberikan penghormatan (Istislam) kearah hajar Aswad di pojok tenggara Ka’bah. Rasulullah mengajarkan tentang 4 cara melakukan Istislam tersebut : Ketika umrah pertama kali tahun 7 H, beliau mengecup hajar Aswad. Ketika penaklukan Mekkah, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari perang Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji di tahun 10 H, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Rasulullah SAW melakukan tawwaf tujuh putaran. Ummu Salamah (salah satu istri beliau) bertawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah cuma mengusapnya dengan tangan. Diantara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, Rasulullah mengucapkan doa : “Robbanaa aatinaa fid duniya hasanah. Wafil aakhiroti hasanah. Waqinaa ‘adzaaban naar (Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari adzb neraka).” Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat 2 rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian melanjutkan pergi ke telaga Zamzam. Beliau meminum air zamzam dan membasahi kepala beliau.
  • Sa’i, dari Safa ke Marwa
Sesudah itu Raulullah menuju bukit Shafa untuk memulai sa’i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap ke Ka’bah, bertakbir 3 kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwa dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil (kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Shafa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwa 240 meter). Sesampai di Marwa Rasulullah SAW melakukan hal serupa seperti yang dilakukan di bukit Shafa. Demikianlah Rasulullah melakukannya dengan bolak balik sebanyak 7 kali.
  • Tahallul
Setelah selesai Sa’i, Rasulullah di Marwa menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya. Rasulullah memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat haji menjadi umrah. Padahal selama ini umrah hanya dilakukan diluar musim haji. Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jamaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahallul (bebas dari larangan ihram). Kemudian berihram lagi untuk haji tanggal 8 Dzulhijjah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) atau hari-hari Tasyrik (11 – 13 Dzulhijjah) mereka harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu’, artinya “bersenang-senang” sebab masa ihram hanya beberapa hari saja. Pada mulanya para sahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi karena manasik seperti itu (umrah di musim haji) belum pernah ada. Apalagi Rasulullah sendiri ternyata tidak bertahallul. Melihat keraguan para sahabat, Rasulullah bersabda : “Seandainya aku tidak membawa hadyu, akupun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku telah menghadapi urusanku (membawa hadyu) dan tidak dapat mundur lagi sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyuku”. Ada juga para sahabat yang penasaran bertanya : “Tahallul untuk apa saja yaa Rasulullah ?”. “Tahallul untuk semuanya“, jawab Nabi. Kemudian Rasulullah menegaskan, ” Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya.” Artinya, umrah dapat dikerjakan di musim haji. Mendengar penegasan Rasulullah tersebut, para sahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu bertahallul secara massal. Hanya Rasulullah dan sebagian kecil sahabat yang tetap berihram sebab mereka membawa hadyu. Sejak saat itu, mulailah dikenal tiga cara Ibadah haji, yaitu : Haji Tamattu’ (Bersenang-senang) yaitu melakukan Umrah dulu, baru kemudian berhaji. Diperuntukkan bagi mereka yang tidak membawa hadyu dari rumah mereka. Haji Ifrad (Mandiri) yaitu melakukan haji dulu baru kemudian melakukan Umrah. Diperuntukkan bagi penduduk Mekkah yang membawa hadyu. Haji Qiran (Gabungan) yaitu melakukan haji dan Umrah langsung digabungkan. Diperuntukkan bagi yang bukan penduduk Mekkah dan membawa hadyu. Cara terakhir inilah (Haji Qiran) yang dikerjakan Rasulullah SAW dalam ibadah haji beliau. Hal ini disimpulkan dari fakta bahwa beliau membawa hadyu dan setelah selesai mengerjakan haji tidak lagi melakukan umrah secara terpisah sampai beliau kembali ke Madinah pada tanggal 14 Dzulhijjah. Sebenarnya cara Haji Tamattu’ bukanlah inovasi dari Rasulullah, melainkan memang diperintahkan oleh Allah sebagai keringanan bagi Ummat-Nya. Hal ini berdasarkan wahyu yang turun ketika Rasulullah dan rombongan tertahan di Hudaibiyah empat tahun sebelumnya (tahun 6 H). Tetapi baru pada ibadah haji tahun 10 H Rasululloh berkesempatan menerapkannya. Tentang Haji Tamattu’ itu tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 196. Ketika Rasulullah dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah, semua berniat haji dan tidak seorangpun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah RA istri Rasulullah dalam hadits : “Kami keluar bersama Nabi SAW hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan thawwaf dan sa’i, barulah Rasulullah memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahallul.“ Keterangan lebih tegas lagi dari Jabir Bin Abdillah RA sahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah Haji Rasulullah SAW. “Kami para shahabat Rasulullah SAW bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan Umrah sebab kami tidak mengenal Umrah”. Maksud Jabir RA sudah tentu adalah tidak mengenal umrah di musim haji, sebab ketika di Dzulhulaifah, syariat bahwa umrah harus dilakukan diluar musim haji belum dihapuskan oleh Rasulullah SAW. Nabi SAW sebagai pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat dalam menerapkan perintah Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 196, agar ummat tidak terkejut dengan sistem baru (Haji harus disertai Umrah) . Ketika Rasulullah dan rombongan beristirahat di Sarif pada tanggal 3 Dzulhijjah sebelum masuk Mekkah, beliau mulai melakukan sosialisasi sistem baru dengan mengumumkan kepada jamaah haji, “Barangsiapa yang mau menjadikannya Umrah, jadikanlah hajimu menjadi Umrah”. Disinilah Rasulullah hanya menghimbau dengan kalimat “siapa yang mau”. Esok harinya tanggal 4 Dzulhijjah tahun 10H (1 Maret 632M) keetika semua jamaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Mekkah, serta jamaah telah santai karena sudah melaksanakan Thawwaf dan Sa’i, barulah Rasulullah memerintahkan cara Haji Tamattu’ bagi yang tidak membawa Hadyu dan mendekritkan terintegrasinya Umrah ke dalam Haji. Hal inipun ternyata menimbulkan suasana heboh dikalangan para shabat, sehingga Rasulullah harus ekstra sabar untuk meyakinkan para shahabat yang awalnya enggan meralat niat hajinya menjadi umrah. Dari penjelasan tersebut, untuk jemaah haji asal Indonesia yang bukan pribumi Mekkah dan dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah, maka tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah SAW untuk mengambil cara Haji Tamattu’. Hal ini berlaku baik bagi jamaah haji gelombang pertama (yang ke Madinah dulu) ataupun jamaah haji gelombang kedua (yang langsung ke Mekkah).
  • Hijir Ismail
Dari tanggal 5 – 7 Dzulhijjah (2-4 Maret) Rasulullah SAW melakukan kegiatan : Memimpin shalat di Masjidil Haram, melakukan thawwaf sunnah dan shalat sunnah di Hijr Ismail. Meskipun Rasulullah dalam keadaan berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat lahir beliau di Suq Al Layl dan berziarah ke makam istri yang paling beliau cintai yaitu Khadijah Al Kubro RA yang terletak di Ma’la. Pada Kamis 8 Dzulhijjah (5 Maret), Rasulullah SAW memerintahkan ummat beliau yang memakai cara Tamattu’ kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang melakukan cara Ifrad atau Qiran (termasuk Rasulullah sendiri) memang sudah dalam keadaan berihram, karena setelah melakukan thawwaf dan sa’i mereka tidak bertahallul.
  • Mina
Pada 8 Dzulhijjah pagi, Rasulullah beserta jamaah haji pergi menuju Mina untuk mempersiapkan air, sebab mulai tanggal 10 Dzulhijjah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Dzulhijjah disebut hari Tarwiyyah (mempersiapkan air). Pada jaman modern seperti sekarang ini, meskipun air di Mina sudah berlimpah ruah sehingga jamaah tidak perlu mempersiapkan air di Mina (Tarwiyyah), tetapi sebagian besar Ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina pada 8 Dzulhijjah merupakan salah satu sunnah haji. Paling tidak itu perlu dilakukan untuk napak tilas perjalanan haji Nabi.
  • Wuquf di Arafah
Pada hari Jum’at 9 Dzulhijjah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah SAW dan seluruh Jamaah haji berangkat menuju Arofah. Ketika melalui Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah berhenti sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwukuf di Masy’ar Al Haram (Muzdalifah), sedangkan yang berwukuf di Arafah adalah mereka yang bukan dari kaum Quraisy. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan agar seluruh jamaah haji tanpa kecuali kembali kepada syaria’at Ibrahim untuk berwukuf di Arafah, sesuai dengan firman Allah : “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah 199) Sebelum masuk Arafah, Rasulullah Saw. siggah di Namirah dan ketika masuk waktu dzuhur (matahari tergelincir ke barat)beliau pergi ke tengah padang Arafah untuk berkhotbahsebagai tanda dimulainya acara wukuf. Rasulullah menghentikan unta beliau, Al-Qaswa’, disuatu tempat yang tinggi. Disamping beliau berdiri Rabia’ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang. Ia ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu jemaah yang hadir. Sesudah Rasulullah mengucapkan tahmid dan takbir, memuji dan membesarkan nama Allah,beliau memberikan khotbah yang isinya sebagai berikut: “Wahai manusia (Ayyuhan-nas), dengarkanlah kata-kataku agar kamu terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu ditempat wukuf ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sasamamu dan harta sesamamusampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu. Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis Riba dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba lagi, dan riba yang pertama kuhapuskan adalah riba dari Abbas ibn Abdil – Muttalibseluruhnya. Ssemua pertumpahan darah dimasa jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi’ah ibn Harits ibn Abdil-Muthalib yang dibunuh oleh Hudzail. Wahai manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. akan tetapi, dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah,tetapi tetap kamu perbuat. Maka, waspadalah terhadap setan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri-istrimu dan merekapun mempunyai hak terhadapmu. Bertaqwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah. Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya,yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara,kecuali dia memberikan dengan rela. Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling Taqwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari yang bukan Arab melainkan lantaran Taqwa.” Di akhir khotbah beliau, Rasulullah Saw.bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir,”Wahai manusia,apakah aku telah menyampaikan?“Jemaah haji serempak menjawab,”Benar, telah engkau sampaikan.” Maka Rasulullah mengacungkan tangan beliau kelangit sambil berseru,“Wahai Allah,saksikanlah!Wahai Allah saksikanlah!” Kemudian Rasulullah menutup khotbah beliau dengan bersabda,” Maka hendaklah yang telah menyaksikan dari padamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga siapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya daripada yang sekedar mendengarkan. Mudah-mudahan berlimpahlah rahmat dan berkah Allah kepada kamu sekalian.” Selesai berkhotbah Rasulullah Saw, turun dari unta, lalu memimpin shalat zuhur dan asar secara Jama’ dan qasar. kemudia menuju Sakhrat, batu karang dikaki bukit Jabal Rahmah. disini Rasulullah Saw. menerima wahyu surah Al-Maidah ayat 3: “….hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku dan Aku relakan bagimu Islam sebagai agamamu…” Ketika Rasulullah Saw. menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para sahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibnu Khattab bertanya, “Apa yang kau tangiskan, wahai Abu Bakar? Bukankah kita semua bergembira bahwa agama kita telah sempurna?” Abu Bakar menjawab, ” Tidakkah terpikir olehmu, wahai anak Khatab, hal ini merupakan isyarat bahwa Rasululah mungkin cuma sebentar lagi bersama dengan kita.” Rasulullah Saw. memerintahkan ummatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wukuf. “Haji itu di Arafah,” sabda beliau. Sambil menghadap kiblat, Rasulullah dan para sahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir, berdoa, memohon ampun, membaca ayat-ayat Al-Quran dan memperbanyak talbiyah.
  • Muzdalifah
Setelah matahari terbenam, Rasulullah Saw, mengajak para jamaah haji untuk berangkat menuju Muzdalifah ( Masy’ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah: ” … Maka ketika kamu bertolak dar Arafah, berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu” (QS Al-Baqarah : 198 ) Rasululullah Saw. mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qaswa’. Di zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin untuk meninggalkan Arafah dengan berlari, maka Rasulullah melarang cara yang tergopoh-gopoh ini. ” Tenang-tenang, sebagaimana tenangnya jiwa. hendaklah yang kuat diantaramu membantu dan menagawasi yang lemah,” demikian sabda beliau. Sesampainya di Muzdalifah, Rasulullah Saw. dan rombongan menunaikan sholat maghrib dan isya secara berjamaah di Muzdalifah. Tetapi beliau mengijinkan orang-orang yang lemah, wanita, anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam. Hal ini bertujuan agar dapat melontar jumrah sebelum massa datang membanjiri Mina. Sawdah istri Nabi yang paling gemuk, memohon ijin untuk pergi ke Mina malam itu juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakkan. Rasulullah Saw mengijinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil Muthalib. Di kemudian hari, Abdullah Ibnu Abbas (nama populernya Ibnu Abbas) menjadi salah seorang perawi hadis yang termasyur. Sesudah Sholat subuh di Muzdalifah, Rosulullah Saw. memimpin jamaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak membonceng dipunggung Al-Qiswa’ adalah sepupu beliau Fadhil Ibnu Abbas (kakaknya Abdulah). Ketika melewati lembah Muhassir, Rasulullah menyuruh para jamaah haji mempercepat langkah jamaah haji seraya bersabda,” Bersegeralah melewati Muhassir sebab di lembah ini ashabul-fil ( pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil.” Pada hari Sabtu, 10 Zulhijah( 7 maret ), pagi hari Rasulullah Saw. sampai di Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis diatas Jumrah, Rasulullah menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat anshar (suku Aws dan Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.
  • Jamarat
Berbeda dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang terletak dilapangan terbuka, Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampung batu lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan diJumrah Aqabah hanya setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit. Di kemudian hari, meskipun bukit aqabah sudah diratakan dengan tanah, ummat Islam “tidak berani” menjadikan penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah sebagai lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain, mungkin karena takut dianggap bid’ah. Pada tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah Saw. melakukan berbagai manasik dengan urutan sebagai berikut : Rasulullah melontar Jumrah Aqabah dengan batu kerikil sebanyak 7 kali, dan beliau bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usahapenolakan secara maksimal terhadap godaan syetan. Sesudah melontar beliau berdoa,” Allahumma j’alhu hajjan mabruran wa sa’yan masykuran wa dzanban maghfura”. (ya Allah, jadikanlah manasik ini membuahkan haji yang bermutu,asaha yang diterima, dan dosa yang terampuni). Kemudian Rasulullah menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor di sembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah Saw. melakukan tahalul dengan menyuruh Khirasy, yang pernah mencukur kepala beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah. Saat mengharukan ketika Rasulullah dicukur, Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke wajah mereka sambil menangis karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam. Selanjutnya, Rasulullah SAW pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Setelah shalat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu Rasulullah mengambil cara haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Dzulhijjah itu beliau tidak melakukan sa’i, karena beliau sa’i cukup satu kali saja pada tanggal 4 dzulhijjah yang sudah mencakup sa’i haji dan umrah. Tetapi sebagian besar sahabat melakukan sa’i tanggal 10 Dzulhijjah atau sesudahnya karena mereka mengambil cara Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasulullah SAW. Inilah sa’i haji bagi para sahabat yang Tamattu’ sebab sa’i mereka tanggal 4 Dzulhijjah adalah sa’i umrah saja dan belum sa’i haji. Rasulullah SAW memberikan kelonggaran kepada jamaah haji untuk melakukan manasik dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawwaf dan sa’i boleh dilakukan secara tidak berurutan. Para jamaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dan mudah dikerjakan lebih dulu. Bahkan manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada hari Nahar (10 Dzulhijjah). Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada hari-hari tasyrik (11 – 13 Dzulhijjah). Tawwaf dan sa’i boleh dilakukan pada hari-hari tasyriq. Boleh juga dilakukan setelah jamaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Dzulhijjah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini : Dari Muzdalifah jamaah haji langsung ke Mekkah melakukan tawwaf dan sa’i, lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwa, kemudian baru ke Mina untuk melompar Jumrah atau menyembelih hadyu. “Kerjakan saja, tidak apa-apa .. (If’al, laa haraj) “. Demikian selalu jawaban Rasulullah SAW ketika beliau ditanya oleh para jamaah mengenai urutan manasik-manasik di atas. Apapun urutan manasik yang dipilih oleh jamaah haji, Rasulullah menginstruksikan kepada jamaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam hari Tasyriq, kecuali bagi mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap di Mina. Rasulullah mengizinkan Paman beliau Abbas Bin Abdul Muthallib bermalam di Mekkah untuk mengelola Siqayah (air Zamzam untuk jamaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Rasulullah untuk tidak menginap di Mina. Pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah SAW dan para jamaah haji melontar masing-masing tujuh lontaran secara berturut-turut Jumlah Ula, Jumrah Wustha dan akhirnya Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar jumrah pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Untuk orang yang sakit, lanjut usia, lemah atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain. Dimasa jahiliyyah, kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah SAW melarang kebiasaan takabbur ini dan menggantinya dengan dzikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah : “Maka ketika kamu telah menunaikan ibadah hajimu, berdzikirlah kepada Allah seperti berdziki nenek moyang kamu, bahkan harus lebih hebat dzikirnya. ” (QS Al Baqarah 203) Jadi pada tanggal 12 Dzulhijjah sore hari jamaah haji boleh melakukan Nafar Awal (pulang duluan) meninggalkan Mina pulang ke Mekkah. Mereka yang ingin Nafar Awal harus sudah berada di luar Mina sebelum maghrib. Jika saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil Nafar Tsani (pulang pada rombongan kedua), yaitu harus bermalam di Mina dan melontar lagi 3 jumrah pada tanggal 13 Dzulhijjah. Setelah itu, jamaah pulang ke Mekkah. Sebagian sahabat memilih Nafal Awal dan sebagian lagi memilih Nafar Tsani. Adapun Rasulullah SAW melakukan Nafar Tsani, pulang ke Mekkah tanggal 13 Dzulhijjah. Pada malam 14 Dzulhijjah Rasulullah menyuruh istri beliau Aisyah yang selesai masa haidnya untuk menunaikan Um rah. “Inilah pengganti Umrahmu yang gagal,” sabda Nabi. Aisyah kembali berihram dari Tan’im dengan ditemani adiknya Abdurrahman Bin abu Bakar. lalu mereka melakukan tawwaf dan sa’i hingga bertahallul di Marwa. Pengalaman Aisyah yang melakukan haji Ifrad (haji dulu baru Umrah) dijadikan dasar oleh para ulama dikemudian hari untuk membolehkan haji ifrad bagi yang bukan penduduk Mekkah dan tidak membawa hadyu. Pengalaman Abdurrahman Bin Abu bakar yang melakukan Umrah lagi, dijadikan sebagai dasar untuk melakukan umrah sunnah di musim haji dengan berihram dari Tan’im. Tetapi ada juga ulama yang berpendapat bahwa jamaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan haji Tamattu’ sesuai perintah Rasul. Aisyah sendiri melakukan Ifrad karena sedang haid, serta umrah sunnah di musim haji tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Umrahnya Abdurrahman Bin Abu Bakar karena menemani kakaknya Aisyah. Wallahu a’lam. Sesuadah shalat subuh hari Rabu 14 Dzulhijjah (11 Maret), Rasulullah SAW dengan istri-istri beliau kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya, melakukan tawwaf wada’, lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berlama-lama di Mekkah sebab pekerjaan beliau sebagai kepala negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 H (8 Juni 632 M) Rasulullah berpulang ke rahmatullah. (*/rdh)

Sumber: