Curhat Siswa Kelas 2 SMA Pengidap Cinta Sejenis (1)

Curhat Siswa Kelas 2 SMA Pengidap Cinta Sejenis (1)

Seorang remaja, Isman (samaran) kirim WA ke Memorandum. Curhat. Isinya menarik sebagai pelajaran bagi kita. Makanya Memorandum muat dengan gaya bertutur: Aku kelas dua SMA di Sidoarjo. Saat ini sedang dekat dengan teman dari Surabaya. Juga masih SMA, tapi kelas tiga. Kami sama-sama cowok. Kami kenalan (Isman menyebut aplikasi pertemanan di medsos, red) tiga bulan lalu. Namanya Agus. Aku ngerasa insecure dengan cara pendekatan dia ke aku. Kenapa? Baru seminggu kenalan, dia to the point tanya gini: bagaimana perasaan lu ke aku? Jujur aku bingung. Mau ngejawab apa? Aku diam saja, kemudian minta maaf karena tidak tahu maksudnya. Akhirnya kami ngobrol soal lain. Asyik. Di pandai milih tema obrolan. Gaya bicara atau ungkapan di tulisan-tulisan seperti mengalir. Selalu segar. Hampir setiap hari kami kontak. Kalau tidak chat via aplikasi, kami mojok WA-an. Aku mulai melupakan pertanyaan tentang perasaannya. Tapi, ternyata tidak demikian dengan Agus. Sekitar seminggu setelahnya Agus menagih jawabanku, “Gimana?” “Gimana apanya?” “Perasaan lu kepadaku?” Aku bingung lagi. Tidak ingat pertanyaan itu. Dan memang tidak pernah memikirkannya. Apalagi mempersiapkan jawaban. Dalam suasana hening—saat itu kami kontak via telepon WA—Agus berkata jelas, “Kalau aku sih sejujurnya suka kamu.” Hanya itu. Kemudian sepi. Agus tidak meneruskan ucapan, Aku tidak segera merespons. Cukup lama. Kuakui bahwa sebenarnya aku juga feeling sama Agus. Namun, aku tidak berani mengatakan itu. Takut. Entah apa yang kutakutkan, aku tidak tahu. Aku cuma berpikir begini: pantaskah dua cowok saling mengungkapkan perasaan? Tidak lebih baikkah itu disimpan di dalam hati dan ditunjukkan lewat perilaku? Keraguanku sangat beralasan. Di satu sisi aku sadar bahwa jiwaku punya kecenderungan gay, tapi di sisi lain aku sadar bahwa itu adalah kesalahan. Paling tidak, dipandang dari sisi agama. Hal itulah yang kubingungkan. Makanya dia ingin curhat. Aku masih bingung menjawab pertanyaan Agus ketika dia bilang dirinya khawatir dengan perasaannya. Sebab, dia sangat moody. Karena itulah dia tak begitu memaksa aku menjawab. “Aku sebenarnya juga takut menyakitimu. Takut mengecewakan,” kata Agus. Jujur, aku semakin bingung dengan pernyataan Agus selanjutnya. Menurut dia, begini, “Boleh nggak aku berterus terang sama kamu?” Aku tidak segera menjawab. “Aku cinta kamu,” imbuh Agus kemudian. Aku makin bingung. Kikuk. Tanpa sengaja HP-nya jatuh. Sambungan putus. Hanya terdengar bunyi tut-tut-tut setelah kuambil dari lantai. Aku tidak bernafsu melanjutkan obrolan. Apalagi aku harus berangkat sekolah. Tidak diduga, sore harinya Agus menelepon, “Maaf kalau aku terlalu cepat.” Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab. Spontan saja ketika aku berkata, “Gakpapa.” Kemudian dia memutuskan sambungan tanpa minta izin terlebih dulu. (jos. Bersambung)    

Sumber: