Nasib Satpam Perempuan setelah Tertabrak Mobil (1)
Namanya Endah (bukan nama sebenarnya). Usianya sekitar 30 tahunan. Wajahnya fresh ketika duduk di ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya, beberapa waktu lalu. “Kok bahagia banget? Bukankah sedih wong sedang duduk di ruang tunggu PA?” sapa Memorandum membuka basa-basi dengan perempuan tersebut. Endah tersenyum. “Saya nganter juragan kok, Pak. Tadi ingat masa lalu ketika dengar nama Mbak Lilik (juragannya, red) dipanggil masuk,” kata Endah. Perempuan dengan rambut sebahu dan potongan tubuh tegap kayak lelaki ini lantas bercerita yang membuatnya tersenyum dan wajahnya berbinar. “Semua berawal saat saat aku baru lulus SMA di Pacitan,” katanya. Berikut kisahnya, yang Memorandum tulis dengan gaya penuturan orang pertama, Endah. Aku pamit kepada kedua orang tuaku, menuju Kota Surabaya untuk kerja sebagai satpam. Lucu ya? Perempuan kok tertarik kerja sebagai satpam. Tapi aku memang tertarik. Gagah. Pagi itu aku berangkat meninggalkan desa yang telah aku tinggali dari kecil. Desa ini bagaikan duniaku. Pertama aku agak mamang ketika hendak naik angkutan desa yang meninggalkan desa. Rute perjalanan yang aku ambil lumayan jauh, membutuhkan waktu 4-5 jam dan berganti transportasi sampai tiga kali. Kendaraan yang kunaiki semuanya serba pertama kali. Bus, kereta, bemo, hanya motor saja yang aku pernah. Ketika turun di Stasiun Wonokromo, kulihat pergerakan orang yang begitu banyak, melihatnya membuatku takjub. Namun saat keluar, asap kendaraan berada di mana-mana. Serta suara klakson dan mesin yang bising, beda dengan desaku. Aku pun segera naik bemo menuju kos-kosan. Sepanjang perjalanan dapat kurasakan hawa panasnya kota sibuk ini. Tempat ini terasa begitu berbeda, rasa takjub dan tidak nyaman bercampur. Setelah sampai, aku menemui ibu kos untuk konfirmasi kedatangan, lalu masuk ke dalam kamar. Ruangan yang kecil itu hanya berisi satu kasur dan sebuah meja, dengan kamar mandinya berada di luar. Wajar saja, harga kos ini murah. Sore hingga malam kulewatkan di dalam kamar. Esok harinya aku segera bangun pagi, salat Subuh, makan, dan mandi. Shift kerjaku dimulai dari pukul 06.00 hingga pukul 14.00. Aku berangkat dari rumah pukul 05.00. Beda dengan kemarin sorenya, saat pagi, jalanan begitu sepi. Saya menyeberang jalan menuju pangkalan ojek tanpa ada halangan. Di situ terlihat ada beberapa ojek sedang menunggu pelanggan. Langsung saja aku minta diantar menuju pabrik tempat saya nantinya bekerja pada salah satu ojek. Sebelum pergi, tukang ojek pamit kepada teman-temannya. Dari situ saya tahu bahwa nama tukang ojeknya Cak. Penasaran dengan Surabaya, aku bertanya, “Cak, Surabaya itu seperti apa?” Tukang ojeknya dengan nada heran bertanya balik, “Lha Sampeyan bukan orang Surabaya Mbak?”. “Bukan,” Jawab saya dengan bingung. “Lha Mbaknya bisa bahasa Surabaya?” Tanya tukang ojeknya lagi. “Bahasa Surabaya apa toh?” balasku. “Cak, panggilan akrab orang Surabaya. Kalau sudah akrab, biasanya disapa dengan Cuk. Itu lebih akrab,” katanya. “Ooo,” ucapku. “Kalau saya namanya Tono, Mbak,” balas si tukang ojek. (jos, bersambung)
Sumber: