Saat Istri Oleng dan Ingin Mencampakkan Lelaki Pilihan (2)
Sampai kini perempuan sepuh itu masih bertahan tinggal di Pacet, Mojokerto. Ia hidup dari uang pensiun dan berkebun. “Ibu tinggal bersama keponakan beliau yang tidak kawin-kawin hingga sekarang.” Kurangnya komunikasi dengan ibu, juga tidak adanya perhatian dari ayah yang terburu meninggal saat suami Lilis, sebut saja Udin, masih duduk di bangku SD, membentuk karakter keras pada lelaki tersebut. Juga, terkesan semau gue dan mau menang sendiri. “Mas Udin tak mengizinkan saya memegang kunci rumah. Jadi, ke mana-mana harus sepengetahuan dan seizinnya,” keluh Lilis. “Seorang istri memang tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami. Agama kita melarang itu,” kata Win. Lilis diam. Memorandum yang melirik dia melihat pemilik tahi lalat di ujung kiri bibir itu memainkan ujung telapak meja. “Dia tak mau membantu pekerjaan rumah. Waktunya banyak dihabiskan di depan komputer. Katanya lembur.” “Mungkin pekerjaan di kantornya memang banyak. Ada yang belum beres, jadi harus diselesaikan di rumah. Engkau harus sabar.” Lilis diam lagi. Pandangan matanya kosong. “Saya sering dibuat malu. Sebab, setiap orang yang saya curhati selalu ditegur. Katanya, ‘Jangan didengar kalau istri saya ngomong.’ Mau diraruh di mana muka ini di depan teman-teman dan tetangga.” Kali ini Memorandum melihat Win tersenyum dan mengggeleng kecil. “Suamimu benar. Buat apa membuka aib keluarga kepada orang lain? Kecuali orang yang Lilis ajak bicara itu bisa memberikan solusi.” Lilis kembali diam. “Saran Om, kalau mau curhat, curhatlah kepada Allah. Ungkap semua yang ada di hati. Sepuas-puasnya. Sambil menangis pun boleh.” Dari ucapan Win, Memorandum baru tahu ternyata Lilis adalah keponakan pengacara ini. Jadi semakin malu! Mendengar curhat Lilis kepada Win, Memorandum menilai ada rasa benci perempuan tersebut kepada sang suami. Walau begitu, Memorandum tak menemukan alasan kebencian tersebut. Hampir semua yang dilakukan Udin sudah benar. Pikiran ini kayaknya sama dengan yang diungkapkan Ustazah Mitha. Tapi, meluruskan persepsi semacam ini tidaklah sulit. Yang lebih sulit adalah memutus rantai kebencian yang telanjur tertanan di hati Lilis. Memorandum reringat buku Female Brain karya Lou Ann Berzandine. Dalam buku itu, dokter hormon perempuan ini mengatakan, jika perempuan merasa frustasi bicara kepada pria, itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab, otak pria dan perempuan berbeda. Otak perempuan bisa menghasilkan puluhan ribu kata per menit, karena itulah perempuan suka dirayu dan diajak curhat. Sementara bagi otak pria, permainan dan seks adalah minat yang menguasai otaknya. Pria lebih bersifat teknis. Pikirannya sederhana. To the point. Mereka lebih suka bicara, “Jadi kesimpulannya apa?”; “Harusnya ngapain?”; “Langkah pertama, kedua, dan ketiga apa?“ (jos, bersambung)
Sumber: