Anak-Anak dan Menantu Sarankan Ayah Ceraikan Ibu (5-habis)
Setelah berembuk bersama, anak-anak dan menantu Bima-Risma memutuskan untuk mendorong ayah mereka menggugat cerai ibunya. Ini, paling tidak, untuk memberi pelajaran terhadap perempuan itu. Akhirnya surat panggilan dari pengadilan agama (PA) sampai di tangan Risma. Waktu itu dia masih di rumah Johan di Jogja. “Joooohaaaan…,” teriak Risma begitu membaca surat berlogo PA Surabaya yang diterima dari tukang pos. Johan yang sedang berada di ruang tengah bergegas menuju asal suara. “Ayahmu… ayahmu… Jo…,” kata Risma tergagap-gagap. “Kenapa Ayah?” tanya Johan sambil menatap mata ibunya. Dia melihat seperti ada gumpalan awan di kelopaknya. Air itu siap tumpah membasahi pipi ibu tiga anak yang mulai keriput ini. “Ayah tidak kenapa-napa kan Bu?” “Ayahmu tega,” kata Risma dengan tatapan kosong. Pelan-pelan tubuhnya limbung dan akhirnya terjengkang ke lantai. Johan kamitenggengen dan tidak sempat meraih tubuh sang ibu. Sekitar 30 menit Risma tidak sadarkan diri. Selama itu Johan berkoordinasi dengan ayahnya. Begitu bangun, Johan menyarankan ibunya segera memenuhi panggilan pengadilan tadi. Mendengar itu, Risma yang sedang terbaring di tempat tidur mencoba bangun dan duduk. Air matanya kembali mengalir. “Menurutmu, apakah ayahmu memang sungguh-sungguh akan menceraikan Ibu?” tanya Risma. “Ibu tanyakan saja ke Ayah. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara Ibu dan Ayah. Ibu kan tidak pernah berterus terang ke Johan?” “Aku hanya mendengar Ibu menelepon Ayah dan minta cerai. Kini dikabulkan, kan Ibu seharusnya bersyukur?” tambah Johan. “Ibu tak bermaksud seperti itu. Ibu hanya main-main.” “Makanya Ibu pulang saja ke Surabaya dan jelaskan bahwa Ibu main-main. Katakan Ibu masih mencintai Ayah. Beres.” Risma mengangguk. Keesokan harinya dia pulang. Sampai di rumah, Risma njujug ruang keluarga karena melihat suami dan ibu mertuanya di sana. Risma langsung menjatuhkan diri ke kaki mertuanya dan meminta maaf. Risma juga meminta maaf kepada Bima. Ketika Bima sedang memeluk Risma, HP-nya berdering. Panggilan dari Johan. Bima lantas minta izin istrinya untuk menjauh karena ada telepon penting dari bos. Begitu alasannya. “Ibu bagaimana Yah?” “Alhamdulillah. Sekarang Ibu jagongan dengan Eyang Uti di ruang tengah.” “Ibumu tahu nggak kalau surat panggilan pengadilan itu sebenarnya kamu yang buat. Jangan sampai tahu lho.” “Yang penting Ibu dan Ayah kembali akur.” “Kata teman Ayah yang psikolog, perilaku ibumu itu wajar terjadi pada perempuan yang baru menopause.” (jos, habis)
Sumber: