Anak-Anak dan Menantu Sarankan Ayah Ceraikan Ibu (3)
Menjelang tengah malam Bima mencoba menenangkan diri dengan menghirup udara segar di luar rumah. Dia menapaki jalan tanpa arah. Melewati gapura gang. Melewati balai RW. Mendekati pasar. Tanpa sadar pandangannya tertuju pada sosok seorang perempuan yang meringkuk di bawah meja stan seorang pedagang. Seperti kena tarik daya magnit, Bima mendekati perempuan yang berusia sekitar 70 tahun itu. “Ibuk sinten?” tanya Bima. Perempuan itu menoleh dan memandang tajam mata Bima. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Diam tanpa kata. sakit tanpa merintih. Bima iba. Dibukanya dompet dan diulurkannya dua lembar uang pecahan Rp 100 ribu. “Kagem sarapan mbenjang, Buk nggih…,” tuturnya. Perempuan tadi tidak beraksi. Membiarkan lembaran uang Bima ditiup angin dan hilang ditelan gelap malam. Jatuh entah di mana. Kini Bima tidak tahu apa yang harus diperbuat. Perlahan dia tinggalkan perempuan tadi, yang sepertinya berjuang keras menahan hawa dingin. Sebuah sarung usang yang robek di sana-sini dikeluarkan dari tas kresek kucel dan digunakan untuk menutupi tubuh. Bima sempat membatin, “Apakah ibu itu sudah tidak punya keluarga sehingga harus hidup sendirian seperti itu?” Sepanjang perjalanan kembali ke rumah, bayangan perempuan tadi terus-menerus menggoda. Tiba-tiba ada keinginan untuk kembali dan menjemputnya untuk diajak ke rumah agar bisa tidur lebih nyaman. Lebih layak. Namun, bayangan istrinya marah-marah mementahkan niatan itu. Pagi hari ketika bangun, Bima menemui istrinya dan berkata dengan tegas, “Aku ingin Ibu tetap di sini.” “Aku ingin Ibu dititipkan di panti jompo. Ini keputusanku!” kata Risma lebih keras. Tandas. “Tidak!” “Kalau begitu, aku yang akan pergi. Aku akan tinggal di rumah Johan (anak sulung Bima-Risma yang sudah berumah tangga, red).” Bima tidak lagi menanggapi ocehan Risma. Dia teringat perempuan semalam dan ingin membawanya ke rumah. Kasihan, setua itu harus hidup di luar rumah. Sendirian. Dengan segala keprihatinan. Bima tak peduli lagi apa kata Risma. Dengan cepat Bima melangkah menuju pasar. Dari jauh tampak ramai sekali. Ada ambulans dan kerumunan massa. Begitu dekat, innalillahi wa’innailahi roji’un, perempuan semalam ditandu petugas medis. Seluruh tubuhnya ditutupi kain putih. Dengan gontai Bima balik kanan. Sesampai di rumah, dia langsung menemui ibunya dan sujud di kedua kakinya. Tanpa suara dia menumpahkan air mata. Tanpa suara dia ekspresikan rasa cinta. Eyang Uti terkejut. Dia tidak tahu apa yang terjadi hingga Bima bersikap seperti itu. Dibelainya kepala di pangkuannya. Bersamaan dengan itu, Risma keluar dari kamar dengan menyeret koper berukuran besar. Wajahnya tegang. Matanya merah. Langkahnya kaku patah-patah. Tanpa pamit kepada suami atau mertuanya, Risma menuju pintu dan bablas dengan mobilnya. “Istrimu…” kata Eli lirih. “Biarlah Bun. Biar dia sadar apa yang diperbuatnya.” “Tapi dia istrimu.” “Tapi Bunda ibuku.” (jos, bersambung)
Sumber: