Anak-Anak dan Menantu Sarankan Ayah Ceraikan Ibu (2)

Anak-Anak dan Menantu Sarankan Ayah Ceraikan Ibu (2)

Sejak awal Risma sudah menunjukkan rasa ogah menampung Eyang Uti di rumah. Ribet, katanya. Dan bikin masalah. Apalagi, kebanyakan orang tua sudah pikun. Ternyata benar. Eyang Uti mengawali hari pertamanya di rumah Bima dengan kemarahan. Khas orang tua. Masalahnya, Eyang Uti tidak terima Bima disuruh-suruh dan dibentak-bentak istrinya. Waktu itu Eyang Uti merasa penat di dalam kamar dan ingin menghirup udara segar dengan duduk-duduk di teras. Risma sedang menerima telepon di ruang tamu. Mendengar Eyang Uti ingin ke teras, Risma meneriaki Bima agar mengambilkan kursi untuk ibunya. Rupanya Bima tidak mendengar. Risma mengulangi permintaannya. Belum juga didengar. Risma lantas berdiri dan melangkah masuk kamar sambil membentak-bentak Bima. Fakta ini sangat menyakitkan Eyang Uti. Rupanya dia tidak  menerimakan anaknya diperlakukan seperti itu. Di mata perempuan sepuh ini, tidak pantas seorang istri menyuruh-nyuruh suami. Apalagi sampai membentak-bentak. Pamali! Setelah kejadian itu, Eyang Uti memanggil mereka. Eyang Uti mengaku kecewa melihat anak lelakinya tersebut berada di bawah ketiak istri. Eyang Uti juga memarahi Risma yang dinilai tidak bisa menempatkan diri sebagai istri. Menurut Eyang Uti, suami adalah kepala keluarga yang harus dihormati dan disegani. Tidak diperlakukan seperti jongos. Sebaliknya, istri harus tunduk patuh terhadap suami. Istri harus melakukan apa pun kata suami. Tidak disangka, tiba-tiba Risma berdiri. Dia membantah semua perkataan Eyang Uti yang dianggap kuno. Dia juga mengaku terpaksa menerima Eyang Uti di rumah. Itu pun untuk sementara. Sebab, dia berencana menyuruh Bima untuk menitipkan Eyang Uti di panti jompo. Eyang Uti tidak kalah emosi. Perempuan 75 tahun yang masih tampak sehat ini berdiri dan langsung melangkah masuk kamar. “Pulangkan aku ke rumah almarhum bapakmu atau kau usir perempuan tidak punya sopan santun ini dari rumahmu,” tutur Eyang Uti yang ditujukan kepada Bima. Bima terpaku. Dia hanya mampu berdiri, tak mampu sedikit pun menggerakkan tubuh. Dia merasa sedang berada di antara dua batang tumbuhan simalakama. Satu menjepit dari samping kanan, satu lagi menjepit dari samping kiri. Bima tidak berani membantah perkataan istrinya, di sisi lain juga tak bermaksud menyalahi ibunya. Akhirnya cuma bisa membisu. Tidak lama kemudian Risma mendekatinya dan berbicara keras, sengaja dikeras-keraskan, “Silakan memilih!” Hari itu, hari pertama ibunda tinggal di rumahnya, Bima tak mampu berpikir dengan akal sehat. Maka, diputuskannya untuk tidak masuk kamar tidur. Bima memilih leyeh-leyeh di sofa ruang tamu sambil berinteropeksi. Bima teringat kali pertama bertemu Risma. Waktu itu ibunya sudah mengingatkan Bima soal Risma. Kata ibunya, “Risma tampaknya bukan perempuan ideal untuk kamu. Cantik, memang. Tapi, dia tidak bakalan mampu membahagiakan suami. Ini tampak dari gerak tubuhnya yang penuh kepura-puraan dan gaya bicara yang dibuat-buat.” Bima tidak percaya. Sebab, selama berpacaran dengannya, Risma tampak sebagai sosok perempuan yang baik. Penuh pengertian. Pandai mengalah. Dan hormat kepada orang tua. (jos, bersambung)  

Sumber: