Cahaya Langit yang Sinari LGBT di Dini Hari (2)

Cahaya Langit yang Sinari LGBT di Dini Hari (2)

Iming-iming bibi dan paman ternyata menggiurkan ibu. Buktinya, tanpa reserve lagi, sang ibu mengiyakan tawaran bibi. Dan, seperti diungkapkan pada bagian awal kisah ini, kehamilan keenam ibu melahirkan bayi laki-laki. Semua happy. Bapak dan ibu terkabul cita-cita lamanya memiliki mobil baru, sementara paman dan bibi terkabul cita-citanya mengasuh bayi laki-laki. Entah bagaimana caranya, akta kelahiran bayi tersebut sudah tercatat langsung sebagai anak kandung paman dan bibi. “Agar tidak ada kesalahpahaman di kemudian bari,” kata paman dan bibi seperti yang didengar Koko dari bapak. Saking senangnya, paman dan bibi tak hanya menghadiahkan mobil baru seharga sekitar Rp 200 jutaan, melainkan juga menambahi uang kontan beberapa belas juta. Hati ibu berbunga-bunga. Katanya tidak sia-sia hamil dan kembali melahirkan bayi laki-laki. Kesepakatan simbiosis mutualisme bapak-ibu dan paman-bibi Koko cepat menyebar di keluarga besar Koko. Hingga suatu hari mereka ketamuan pakde dan bude dari jalur ibu. Kehadiran pakde dan bude ternyata bertujuan tidak jauh berbeda dari paman dan bibi. Mereka  memberikan tawaran agar ibu mau hamil lagi dengan iming-iming. Kesepakatannya: bila lahir laki-laki, bayinya akan diambil pakde dan bude. Imbalannya? Ibu akan diberi tanah kaveling di pinggir kota perbatasan Gresik dan Surabaya. Sedangkan bila lahir perempuan, pakde dan bude tidak bakal memberikan kompensasi apa pun. Sebab, bayi perempuan toh sudah menjadi impian bapak dan ibu. Ibu menawar: bila lahir perempuan, dia ingin biaya persalinan ditanggung pakde dan bude. Akhirnya deal. Sepakat. Bayi ketujuh pun diproduksi. Kata ibu, sepanjang kehamilan dia merasa sangat bahagia. Berbeda dengan kehamilan-kehamilan sebelunya, ibu mengaku sering bermimpi tentang keindahan. Kadang merasa tinggal di taman bunga yang terbentang luas seolah tanpa tepi. Anehnya, dalam mimpi tersebut ibu tinggal sendirian. Tidak ada bapak dan kami anak-anaknya. Juga, tidak ada kerabat dan tetangga. Pokoknya ijen plek tanpa teman. Hanya sesekali ada kupu-kupu terbang. Seeor saja. Tidak pernah hinggap walaupun ada berjuta bunga. Terbang entah dari mana dan menghilang entah ke mana. Hal itu sering diceritakannya setelah Koko masih anak-anak hingga remaja. Ibu juga sering bermimpi diajak anak kecil bersayap terbang ke sana kemari. Tapi, ibu selalu tidak tahu di mana itu. Pokoknya ibu diajak terbang di atas badai lautan pasir dan amuk gelombang samudera luas yang terbentang sejauh mata memandang. “Ibu tidak capek?” tanya Koko polos. Waktu itu dia masih kelas satu SD. Ia sangat ingat cerita itu. “Tidak,” kata ibu, “Aku bahkan merasa sangat nyaman. Sepertinya tidak ada embusan udara meski badai sangat dahsyat.” (jos, bersambung)  

Sumber: