Cahaya Langit yang Sinari LGBT di Dini Hari (1)

Cahaya Langit yang Sinari LGBT di Dini Hari (1)

Pemuda itu ganteng. Usianya sekitar 23-25 tahun. Dia duduk sendirian di atas jok motor yang diparkir di halaman Pegadilan Agama Surabaya. Wajahnya kuyu. Setelah disapa Memorandum, dia memperkenalkan diri bernama—sebut saja—Koko. Dia mengantar teman perempuannya yang saat itu dalam proses perceraian dari suaminya. Temannya tersebut adalah korban KdRT manahun. “Semua lelaki memang brengsek,” katanya, seolah tidak menyadari dirinya sediri seorang lelaki. Dia lantas berkata banyak soal lelaki, yang semuaya bernada miring. Ketika hampir setengah jam, Memorandum baru menyadari Koko memang benar-benar memandang rendah lelaki. Termasuk dirinya sendiri. “Karena itulah aku sering lebih suka mengekspresikan diri sebagai cewek ketimbang cowok,’’ katanya, Tentu saja Memorandum kaget. Tidak menyangka pembicaraan bakal mengarah ke sini, Koko mengaku di kalangan komunitas ceweknya dia dikenal dengan nama Kiki. I Ditu”sis pakai y. Setelah melebar ke sana kemari, Memorandum lebih memfokuskan diri soal jati diri Koko yang unik. Rencana mengorek tentang rumah tangga kakaknya jadi terkesampingkan. Terus terang Koko mengaku lebih senang dipanggil Kyky ketimbang Koko. Sebenarnya orang tuanya tidak ingin memiliki anak sedemikian banyak. Cita-cita mereka hanya dua. Yang satu laki-laki, yang satu lagi perempuan. Cukup. Namun, fakta berkata lain. Maka, terdorong keinginan memiliki anak perempuan, ayah dan ibu Koko bikin yang ketiga. Ternyata yang ketiga pun laki-laki. Mereka tidak berputus asa. Di-bikin yang keempat dan kelima. Masih tetap laki-laki. Sampai di sini, sang ibu menyerah. Ngakunya sudah letih mbrojal-mbrojol terus tapi tidak pernah kesampaian. Tapi, ayahnya berbeda. Dia tetap bersemangat dan setiap saat membujuk istrinya agar mau memproduksi yang keenam. Sang ibu bergeming. Namun, di tengah masa tenang tersebut, “Suatu hari Bapak dan Ibu kedatangan tamu. Adik bapak yang bersuamikan pejabat. Dia mendukung langkah Bapak agar Ibu mencoba mem-bikin yang keenam,” kata Koko. Bukan tanpa alasan kalau paman dan bibimya mendukung pendapat bapak. Malah disertai solusi. Intinya begini: kalau nanti bayi keenam tetap lahir laki-laki, anak tersebut akan diambil dan diasuh paman dan bibi. Kebetulan mereka punya tiga anak dan semua perempuan. Tapi kalau lahir perempuan, mereka tidak akan mengambil anak tersebut. Ibu awalnya keberatan. Tetap bergeming pada pilihannya: emoh hamil lagi. Letih. Namun setelah bibi memberikan penawaran menarik, ibu akhirnya luluh. Bibi menyatakan bila anak keenam nanti lahir laki-laki lagi, selain anak itu diambil paman dan bibi, Ibu akan diberi imbalan mobil baru atau duit kontan Rp 200 juta. Bagaimana kalau lahir perempuan? Selain anaknya tidak diambil paman dan bibi, ibu tetap akan diberi hadiah oleh bibi. Semua biaya persalinan ditanggung bibi dan ditambah uang saku Rp 10 juta. (jos, bersambung)  

Sumber: