Menapaki Sisa Hidup Penuh Semangat tanpa Kaki (4-habis)
Keesokan hari Jainul benar-benar merealisasikan tekadnya. Menemui pengacara untuk minta tolong menguruskan perceraian. Sendirian. Tanpa pamit keluarga. “Tadi pagi dia datang kemari,” kata pengacara Jainul, sebut saja Win, tiba-tiba dari ruang lain. Win mengaku menyarankan Jainul berbicara baik-baik dulu dengan istrinya sebelum mengambil keputusan cerai. Sebab, siapa tahu sebenarnya tidak ada apa-apa antara istrinya dan Amin. Hanya ada kesalahpahaman. Win lantas mengode Memorandum untuk masuk ke ruang dalam, sepertinya untuk menjauh dari Jainul. Setelah agak jauh, katanya kemudian, “Pak Jainul penderita lumpuh. Mentalnya sering labil. Bisa saja dia terlalu tergesa-gesa dalam bertindak dan mengambil keputusan. Tolong bantu memberi pengertian.” Memorandum lantas kembali menemui Jainul dan mengajaknya berbincang. Sementara itu,Win menemui klien lain. Maka, meluncurlah cerita seperti tertulis di atas. Kalau merasakan gaya bicara Jainul yang kadang disertai tatapan kosong, bisa jadi pendapat Win benar. Situasi kejiwaan Jainul tidak stabil. Kami lantas bicara ngalor ngidul untuk mengarahkan pikiran Jainul lebih fokus pada situasi keluarganya. Pada saat kami sedang gayeng, mendadak tanpa kami sadari muncul dua orang di dekat kami. Jainul yang menyadari terlebih dulu menyadari kehadiran mereka. “Ngapain kalian kemari?” tanya Jainul sewot. Ternyata mereka Amin dan putra sulung Jainul, sebut saja Doni. Amin menjelaskan bahwa tadi ditelepon Doni, yang memberi tahu ayahnya diam-diam pergi dari rumah. Amin lantas nyamperin Doni, kemudian melacak keberadaan Jainul dengan bertanya ke sana-kemari. Mendengar itu, Jainul diam saja. “Ngapian kamu ke sini Nul?” tanya Amin kepada Jainul. “Mau ceraiin Karin?” imbuh Amin. Jainul diam. “Kenapa? Cemburu sama aku?” imbuhnya lagi. Jainul masih diam. “Karin yang cerita sama aku, Nul. Katanya kamu cemburu lihat kami dekat-dekatan. Begitu?” Jainul masih juga diam. Amin lantas mengaku kecewa atas sikap Jainul yang begitu mudah memvonis dirinya sebagai perebut istri orang. “Kamu anggap apa aku ini? Kita berteman sudah sangat lama, Nul. Sudah sejak kecil. Mana mungkin aku punya pikiran kotor seperti itu?” Jainul bergeming pada sikap diamnya. “Ayo kita pulang. Kamu harus berterima kasih punya istri seperti Karin yang kuat bertahan di sisimu di saat kau jatuh. Karin bahkan rela tabungannya untuk modal demi kelangsungan roda keluarga.” Amin kemudian menjelaskan bahwa akhir-akhir ini Karin memang minta tolong diajari cara berbisnis online. Dengan sabar Amin pun mengajari Karin menjalankan usaha reseller yang tidak membutuhkan modal besar. Amin membantunya full. “Demi kamu Nul. Kamu. Demi keluarga teman,” tegas Amin. Jainul masih diam. Dia lantas meraih tangan Amin untuk dijabat. “Maafkan aku, Min,” katanya lirih. (jos, habis)
Sumber: