Menapaki Sisa Hidup Penuh Semangat tanpa Kaki (1)
Jainul (samaran) kali pertama mengenal Karin (bukan nama sebenarnya) di sebuah rumah karaoke kawasan Mayjen Sungkono. Karin adalah primadona yang selalu diantre para tamu. “Aku salah satu penggemar dan pelanggannya,” aku Jainul saat bertemu di kantor pengacara sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Jainul mengaku teramat sangat tergila-gila sekali kepada perempuan asal Gresik tersebut. Karyawan perusahaan pengolahan ikan ini bahkan pernah sampai beradu fisik untuk mendapat giliran lebih dulu ketika datang bersamaan dengan pelanggan lain. Setelah sempat adu jotos, pemilik wisma akhirnya mengundi dengan melempar uang koin. “Waktu itu aku pemenangnya. Sejak itu aku tidak pernah lagi melihat dia (pesaingnya, red) di sana,” kata Jainul, bangga. Hampir dua tahun menjadi pelanggan Karin, Jainul memiliki perasaan berbeda terhadap pemilik senyum embun itu. “Aku menyebut senyum embun karena senyumnya selalu membuat sejuk di dada,” imbuh Jainul, yang merasakan semakin hari hatinya semakin lekat dengan Karin. Sampai akhirnya Jainul benar-benar sadar merasakan cinta kepada Karin. Sadar yang sesadar-sadarnya. Sadar bahwa Karin seorang penjaja cinta. Sadar bahwa Karin pasti tidak bisa mengimbangi cintanya dengan tulus. Sadar bahwa dia akan ditentang keras oleh keluarga. “Tapi itu risikoku. Risiko cinta,” tutur Jainul, hingga suatu saat memberanikan diri menyatakan cintanya kepada Karin dan mengajaknya menikah. Bersediakah Karin? Tidak serta merta. Setelah melalui perdebatan panjang dan pengajuan beberapa syarat, lulusan SMA swasta di Kediri ini pada akhirnya memang mengangguk. “Salah satu syaratnya yang tidak masuk akal adalah: meski dia sudah jadi istriku, Karin tetap mengenakan tarif pelayanan soal yang satu itu. Persis sama dengan sebelum jadi istri,” ujar Jainul. Deal. Mereka akhirnya sepakat. Tentu saja profesi Karin sebagai PSK terselubung yang dalam boso Suroboyoe disebut lonte, begenggek, wong wedok nakal, dll, dsb, dst itu dirasahasiakan di depan keluarga. Setelah melalui prosesi lamaran, akad nikah, dan resepsi yang digelar cukup wah di sebuah gedung pertemuan milik badan usaha milik negara, rumah tangga pun mereka jalani dengan ayem dan tentrem. Karin sudah meninggalkan profesinya dan menjadi ibu rumah tangga biasa. Dia tidak pernah keluar rumah selain ada kepentingan mendesak. Jainul pun begitu. Dia tidak lagi suka kelayapan. “Yang saya herankan. Meski rumah tangga kami sudah berjalan harmoni seperti keluarga-keluarga lain, Karin masih memberlakukan syarat yang dulu: setiap kami berhubungan, aku harus bayar jasa pelayanan,” kata Jainul. (jos, bersambung)
Sumber: