Pengorbanan Sia-Sia Pengusaha Kosmetik (3-habis)
Ela terbakar. Emosinya memuncak sampai ubun-ubun. Tidak ada pilihan lain bagi Ela, selain end dengan Adam. Ela merasa sia-sia memperjuangan Adam ke kehidupan mapan. Beberapa saat pasca pernikahan Adam vs Ria, muncul undangan perceraian dari PA Surabaya. Ela tidak kaget. Dia pun mendatangi setiap ada undangan, dengan harapan segera ada putusan dari majelis hakim. “Kini sedang pembagian gono-gini,” kata Ela. Dia heran mengapa Adam punya pikiran menuntut harta gono-gini. Sebab, faktanya sebagian besar harta mereka adalah hasil kerja Ela. Adam lebih banyak menganggur. Hanya beberapa waktu terakhir dia ikut membesarkan bisnis yang sudah besar di tangan Ela. Itu pun tidak sebanding dengan uang Rp 1 miliar plus Inova yang dibawa Adam kabur. Kalau dihitung-hitung secara matematis, seharusnya Adam justru minus. Faktanya dia tidak pernah menafkahi istri dan anak-anaknya. “Tapi biarlah. Anggap ini suratan nasibku yang sedang buruk. Anggap saja itu sededah untuk mantan suami dan istri barunya,” canda Ela, yang sama sekali tak terkesan canda itu. Ela mengaku saat ini sedang daftar umrah untuk mengadukan nasibnya kepada pemilik semua makhluk. “Saya nekat berangkat,” tuturnya. Tanpa dia sadari, ada butiran tipis air mata mengumpul di sudut matanya. Terik siang memantulkan sinar dari butiran air mata tersebut. Perlahan, Ela mengusapnya dengan punggung tangan. “Maaf, terbawa emosi,” tuturnya. Pelan, tegas, tapi tersimpan nada getir pada suara tersebut. Setelah pembagian gono-gini, diakui Ela hartanya akan berkurang cukup banyak. Walau begitu, dia yakin harta tersebut masih bisa dijadikan modal usaha. “Masih ada beberapa toko di daerah pinggiran kota yang atas nama saya. Inilah yang akan saya jadikan modal awal usaha baru,” tekadnya. “Tidak sakit hati terhadap Ria?” tanya Memorandum. Pertanyaan konyol, yang sengaja Memorandum utarakan untuk menjajaki kedalaman hati Ela. “Sebagai wanita, tentu sakit. Tapi sebagai hamba Allah, saya berusaha ikhlas dengan menganggap ini sebagai ketentuan-Nya yang harus saya jalani. Yang jelas, saya tidak sanggup kalau harus hidup berdampingan dengan dia.” Suara Ela makin lama makin terdengar lirih, sebelum tenggelam dalam isaknya yang bersatu dengan sedu sedan. Jujur, Memorandum menyesal menanyakan hal konyol tadi. Untung segelas teh hangat sanggup meredam sedikit demi sedikit emosinya. (jos, habis)
Sumber: